Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

PSBB Transisi Tapi Banyak Pengusaha Restoran "Wait and See," Ada Apa?

Kompas.com - 14/10/2020, 18:29 WIB
Yohana Artha Uly,
Sakina Rakhma Diah Setiawan

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Kebijakan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta yang memperbolehkan lagi layanan makan di tempat (dine in) pada masa pembatasan sosial berskala besar (PSBB) transisi, menjadi angin segar bagi pengusaha restoran.

Meski demikian, Wakil Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bidang Restoran Emil Arifin mengungkapkan, ternyata sebagian pelaku usaha tetap memilih tidak membuka restorannya dan memutuskan untuk menunggu alias wait and see.

"Kami sangat menyambut baik dan senang dengan adanya kebijakan ini, tapi banyak juga yang wait and see, berpikir nanti ada rem emergency lagi apa enggak," ungkap Emil kepada Kompas.com seperti dikutip Rabu (14/10/2020).

Baca juga: Pengusaha Restoran Minta Larangan Dine In Tak Pukul Rata

Ia mengatakan, umumnya yang akan merespons cepat perubahan kebijakan PSBB adalah restoran cepat saji (fast food), yang memang ketika layanan dine in ditiadakan restoran tetap beroperasi dengan sistem take away atau pengiriman.

Sehingga restoran fast food memang sudah lebih siap dari segi pasokan bahan baku hingga ketersediaan pekerjanya.

Sebaliknya, bagi restoran yang mengandalkan dine in, butuh waktu untuk mempersiapkan kebutuhan agar bisa beroperasi kembali.

Kesiapan-kesiapan ini yang turut mendorong sebagian pengusaha memilih menunda membuka restorannya, lantaran khawatir kebijakan pemerintah bisa tiba-tiba berubah seperti sebelumnya ketika menerapkan PSBB ketat.

Baca juga: PHRI Sebut 200.000 Pegawai Restoran yang Bekerja di Mal Dirumahkan

Kebijakan yang sangat mendadak itu menyulitkan pengusaha untuk menjalankan bisnisnya. Padahal dalam berbisnis perencanaan menjadi hal yang sangat penting dan itu berkaitan dengan kepastian.

"Jadi mereka wait and see, lihat-lihat ada enggak nih (pengetatan PSBB) lagi dua bulan ke depan, jadi banyak merasa uncertainty (ketidakpastian), kalau lebih besar keidakpastiannya yah milih enggak akan buka," kata dia.

Pertimbangan lainnya adalah tingkat permintaan yang masih lesu, seiring dengan melemahnya daya beli masyarakat.

Sehingga pengusaha perlu mempertimbangkan antara besarnya pendapatan dengan pengeluaran saat beroperasi.

Oleh sebab itu, lanjut Emil, keputusan pengusaha untuk kembali membuka restoran bergantung pula dengan kesanggupan finansial mereka, mengingat selama masa pandemi restoran menjadi sektor usaha yang sangat terpukul.

"Toh memang demand-nya (permintaan) juga belum kelihatan, karena ekonominya kan lagi sulit. Ongkos operasional bisa lebih besar (daripada pendapatannya), jadi ya daripada keluarin cost yang enggak pasti (akhirnya milih tutup)," jelas dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com