JAKARTA, KOMPAS.com - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah fokus melakukan hilirisasi terhadap berbagai komoditas energi, salah satunya adalah batu bara.
Direktur Pembinaan Pengusahaan Batubara Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Sujatmiko mengatakan, langkah tersebut dilakukan guna memenuhi kebutuhan energi nasional berdasarkan prinsip keberlanjutan dan ramah lingkungan.
"Kita harus mengkonversi bisnis batubara sesuai dengan perkembangan global dan dalam negeri, misalkan menerapkan Clean Coal Technology (CCT)," katanya dalam keterangan tertulis, Kamis (15/10/2020).
Baca juga: Panel Surya Siap Salip Batu Bara sebagai Bahan Bakar Listrik Nomor Satu
Lebih lanjut, Sujatmiko menjelaskan, ada tujuh skema hilirisasi batu bara yang tengah dikembangkan oleh pemerintah, yakni gasifikasi batubara, pembuatan kokas (cokes making), underground coal gasification, dan pencairan batu bara.
Kemudian, peningkatan mutu batu bara, pembuatan briket, dan coal slurry/coal water mixture.
"Tujuh hilirisasi ini masa depan batubara kita agar menjadi tulang punggung energi baik di Indonesia maupun dunia," kata Sujatmiko.
Kementerian ESDM menargetkan penambahan 3 fasilitas peningkatan mutu batubara (coal upgrading) pada tahun 2024, 2026, dan 2028 dengan kapasitas masing-masing mencapai 1,5 juta ton/tahun.
Baca juga: Di UU Cipta Kerja Batu Bara Bebas Royalti, Pengamat: Terus Negara Dapat Apa?
Selain itu proses gasifikasi akan dilakukan oleh PT Bukit Asam (Persero) sebagai upaya subtitusi Liquified Petroleum Gas (elpiji) melalui Dimethyl Ether (DME) yang beroperasi pada tahun 2024.
Hal serupa dilakukan oleh PT KPC dengan kapasitas kurang lebih 4 juta ton.
Untuk penambahan pabrik briket direncanakan rampung pada tahun 2026 dan 2028 berkapasitas 20.000 ton per tahun, sedangkan rencana dua fasilitas cokes making akan selesai di tahun yang sama dengan kapasitas kurang lebih satu juta ton.
Demi mempercepat proses hilirisasi, sambung Sujatmiko, pemerintah telah menyiapkan insentif fiskal dan non fiskal agar proyek hilirisasi lebih ekonomis.
Insentif non fiskal yang diberikan antara lain berupa izin usaha selama umur cadangan tambang. Artinya, izin usaha pertambangan tidak lagi dibatasi 20 tahun.
Sementara insentif fiskal berupa pembebasan royalti bagi batubara yang dijadikan bahan baku hilirisasi. Royalti nol persen itu diyakini tidak akan mengurangi penerimaan negara.
Pasalnya, hilirisasi mampu menciptakan efek berganda yakni membuka lapangan kerja serta menggerakkan roda perekonomian daerah.
Baca juga: Sri Mulyani: Cipta Kerja Tegaskan Batu Bara Sebagai Barang Kena Pajak
Dengan efek berganda itu, maka penerimaan negara yang hilang dari royalti nol persen akan tersubstitusi.
"Kalau industri jalan maka secara agregat pajak memberi keuntungan bagi negara. Bagi daerah juga berdampak untuk pengembangan infrastruktur dan ekonomi penunjang," ujar Sujatmiko.
Sujatmiko memastikan potensi sumber daya batu bara di Indonesia cukup besar dengan total 149 miliar ton dengan total cadangan hingga 38 miliar ton.
"Aset ini harus jadi return, bagaimana batubara terus memberikan manfaat bagi bangsa dan negara," ucapnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.