Demikianlah yang terjadi terbentuknya 2 kelompok elit negeri yang berbeda pendapat “sangat tajam” dalam melihat Omnibus Law. Landasan pembenarannya selalu saja bahwa dalam “demokrasi perbedaan pendapat adalah hal yang biasa”.
Bisa dipahami, di kalangan elit perbedaan pendapat adalah biasa, karena merupakan bagian dari berdemokrasi. Namun tetap saja pertanyaan yang menggoda adalah, tujuan kita semua untuk berdemokrasi atau untuk menyejahterakan rakyat.
Tanpa kita sadari sangat berlainan dengan kalangan elit, maka perbedaan (pendapat) di kalangan akar rumput adalah sesuatu yang dengan mudah digiring pada persoalan hidup dan mati. Implementasi dan wujud nyata dari hal ini adalah demo di lapangan untuk menentang Omnibus Law yang rawan bagi terjadinya kontak fisik dan destruktif anarkis kemudian terjadi.
Dalam demo besar-besaran menentang Omnibus Law ternyata hasilnya seperti sangat mudah diduga, telah membawa korban dan kerusakan yang tidak main-main. Sebuah kegiatan yang sama sekali tidak menghasilkan apapun kecuali kerugian besar, kerusakan dan jatuhnya korban.
Sebuah kegiatan yang hasilnya sama sekali menjadi tidak ada hubungannya dengan soal Omnibus Law itu sendiri. Sebuah kegiatan sia sia dan sungguh menyedihkan.
Itulah gambaran yang terjadi beberapa hari belakangan ini. Sebuah drama yang menyedihkan, di sebuah negara kesatuan Republik Indonesia.
Sebuah negara yang berdasarkan Pancasila dan kita semua memahami dan mengetahui bahwasanya Pancasila tercantum pada alinea ke-4 Preambule (Pembukaan) Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi negara. Sila-sila dalam Pancasila sama sekali tidak memerlukan pendalaman dan pengkajian serta analisis dan penelitian akademik untuk bisa memahaminya.
Kata-kata pada setiap sila sangat sederhana dan sangat mudah untuk dimengerti. Yang diperlukan hanya kesadaran bagi seluruh rakyatnya bahwa mereka adalah warga bangsa dari sebuah negara yang berdasarkan Pancasila dengan isi silanya yang sekali lagi, sangat mudah dimengerti.
Para elit negeri dan kaum terpelajar seyogyanya dapat memberikan contoh dan keteladanan tentang bagaimana bertingkah laku sebagai warga bangsa dari sebuah negara yang berdasarkan Pancasila.
Apabila tidak, maka negeri ini akan selalu bergulir dengan dinamika yang tidak jelas hendak bergerak kemana, berputar statis laksana orang yang tengah berjalan di tempat.
Dengan kondisi yang seperti ini maka tidak dapat disalahkan bila orang akan berkesimpulan bahwa Pancasila ternyata tidak lebih dari sebuah atribut atau aksesori hiasan belaka. Sebuah tantangan besar yang membutuhkan jawaban dari kita semua.
Catatan kecilnya, beda pendapat bagi kalangan elit adalah hal biasa dalam berdemokrasi, sementara bagi kalangan akar rumput beda pendapat bisa diterjemahkan sebagai persoalan hidup dan mati dan dapat dengan mudah mengantar mereka untuk berdemonstrasi yang destruktif dan anarkis.
Syukur alhamdulilah apabila momentum Omnibus Law dengan segala sengkarut yang terjadi akhir akhir ini dapat kiranya menyadarkan kita semua sebagai warga bangsa yang negaranya, negara kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila. Dasar Negara dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Amin YRA...
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.