Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sejarah Betadine, Bermula dari Eks Kopassus yang Berjualan Obat Merah

Kompas.com - 26/10/2020, 07:03 WIB
Muhammad Idris

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Tak banyak yang tahu jika obat luka dengan merek dagang Betadine lahir dari tangan mantan anggota baret merah Kopassus. Betadine merupakan buah kesuksesan dari jerih payah usaha yang dijalankan Kahar Tjandra.

Kahar bergabung dengan kesatuan elit TNI AD tersebut saat masih bernama Resimen Para Komando Angkatan Darat alias RPKAD.

Perjalanannya mendirikan perusahaan farmasi itu dilaluinya dalam pergulatan panjang. Kahar atau Tjan Ke Hoat lahir di Padang pada 24 November 1929.

Ayahnya, Hardi Sjarif, dan ibunya, Noviar Sjarif, membesarkannya di Sawahlunto. Ia bersekolah hingga kelas 7, sempat terhenti sebelum kemudian menamatkannya di sekolah Jepang. Karena tidak ada SMP di kota kecil itu, ia pun bertani, memelihara ayam, membuat tambak ikan, dan menjual hasilnya.

Baca juga: Mengenal Eigendom, Bukti Kepemilikan Tanah Warisan Belanda

"Dulu saya sekolah nyolong-nyolong. Tidak pakai sandal, tidak pakai sepatu. Belajar dengan lampu 15 watt. Saya nyolong beras di rumah untuk dijual dan dipakai bayar sekolah," kata Kahar Tjandra dikutip dari Harian Kompas, 3 Maret 2005.

Tahun 1948, ia diantarkan ayahnya ke Padang untuk melanjutkan sekolah SMP dan dititipkan di rumah neneknya. Ayahnya adalah seorang pegawai negeri di tambang batu bara. Gajinya pas-pasan.

"Saya ditinggal ayah saya di Padang dan tidak pernah diberi uang. Baju setahun cuma punya satu saja. Di Padang ini saya banyak belajar. Saya punya dua nenek. Yang satu inovatif dan satunya lagi sangat hemat," tutur Kahar Tjandra.

Di belakang rumah neneknya ada kebun sangat luas. Ada pohon pisang dan kelapa di sana. Ia menjual buah pisang dan daunnya, juga buah kelapa, dengan gerobak dorong. Kacang asin dan cuka juga ia jual.

Baca juga: 7 Kota di Indonesia yang Dibangun Penjajah Belanda dari Nol

Ketika masuk SMA, ia memilih sekolah di Jakarta. Ayahnya meminta dipindahkan tugas ke Jakarta untuk menemaninya.

"Waktu SMA saya nyatut-nyatut skuter. Saya pesan, beli tiga skuter. Uang mukanya cuma 1/10. Enam bulan kemudian kalau pesanan sudah datang harganya langsung naik. Lalu saya jual suratnya. Dua skuter saya jual, yang satu saya dapat gratis. Saya pulang bawa skuter, orangtua tidak berani tanya dari mana saya dapat motor," ujar Tjandra.

Dalam perantauannya di Pulau Jawa, awalnya Kahar ingin bercita-cita menjadi arsitek, namun di tengah jalan dirinya justru memilih berkuliah kedokteran di FKUI, Jakarta.

Ia batal kuliah arsitek karena ITB yang diincarnya berada di Bandung. Karena di Jakarta yang paling top dan bergengsi saat itu adalah kedokteran, maka masuklah Kahar Tjandra ke FKUI.

Baca juga: PG Colomadu, Simbol Kekayaan Raja Jawa-Pengusaha Pribumi era Kolonial

"Saya melakukan sesuatu itu harus jadi. Jadi, saya ngotot belajar untuk jadi dokter meskipun belajarnya pengin nangis," kata Tjandra yang setelah lulus kedokteran melanjutkan spesialisasi laboratorium.

Lulus dari sekolah dokter, Kahar lalu melanjutkan pendidikan spesialis laboratorium. Gelar dokternya tersebut lalu mengantarkannya menjadi dokter perwira di kesatuan kesehatan RPKAD dengan pangkat letnan satu. Sebelumnya, dirinya sempat masuk wajib militer selama setahun.

Setelah itu, ia berkarya di RSCM Cipto Mangunkusumo selama 20 tahun sembari mengajar di FKUI.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com