Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Soal Kenaikan Cukai, Pemerintah Diminta Perhatikan Petani Tembakau

Kompas.com - 26/10/2020, 19:07 WIB
Sakina Rakhma Diah Setiawan

Editor

 

JAKARTA, KOMPAS.com - Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dengan tegas menolak semua regulasi yang memusuhi dan mematikan kelangsungan Industri Hasil Tembakau (IHT).

Ini menyusul rencana pemerintah untuk kembali menaikkan cukai rokok pada tahun depan.

Sekretaris Jenderal PKB Hasanuddin Wahid menegaskan, IHT adalah warisan hasil kebudayaan nasional yang harus dilindungi dan dikembangkan agar memberikan kontribusi yang maksimal bagi bangsa dan negara.

Baca juga: Buruh Surati Jokowi Tolak Kenaikan Cukai Tembakau: IHT Bukanlah Sapi Perah...

“Jadi segala bentuk aturan yang merugikan IHT, termasuk di dalamnya para petani, harus segera dihentikan, bukan malah dicari celahnya seperti mengambil pajak atau penerapan cukai yang tinggi. Ini berkaitan erat dengan para petani yang ada di desa-desa dan itu sebagian besar warga PKB,” kata Hasanuddin dalam keterangan resmi, Senin (26/10/2020).

Dia menambahkan, PMK Nomor 77/2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2020-2024 sangat mengancam IHT. Pasalnya, aturan itu mengatur simplifikasi dan kenaikan cukai yang tinggi.

Menurut Hasanuddin, kebijakan simplifikasi dan kenaikan tarif cukai dampaknya serapan produk tembakau rendah dan mengancam eksistensi pabrik rokok. Juga tenaga kerja, petani, dan buruh rokok kena dampaknya.

“Dampaknya akan sangat panjang, bahkan termasuk para pengecer dan yang lainnya,” jelas Hasanuddin.

Baca juga: GAPPRI Minta Pemerintah Perhatikan Kondisi Industri Hasil Tembakau

"Masalah kesehatan nasional tidak hanya disebabkan rokok, ada banyak faktor yang memengaruhi seperti lingkungan, buruknya sanitasi, dan polusi udara dari kendaraan maupun pabrik," imbuhnya.

Menurut dia, kebijakan 10 layer (penarikan cukai rokok) seperti saat ini, sudah cukup baik. Sebab, kebijakan itu mampu mewadahi berbagai kelas pabrikan rokok dari yang besar, menengah, dan kecil.

Dia melanjutkan, produsen kecil dan pabrikan kretek yang notabene warisan nusantara tak akan bertahan jika dihadapkan dengan produsen besar. Hitungannya, ada sekitar 500 pabrik rokok, dan 90-an persen masuk kategori menengah kecil.

 

Jika kebijakan ini tetap berlangsung, mayoritas pabrik rokok gulung tikar. Alhasil, jutaan masyarakat menjadi pengangguran baru.

Sementara itu, anggota Komisi IV DPR-RI, Luluk Nur Hamidah menegaskan, pemerintah harus melindungi IHT dan para petani tembakau. Menurutnya, pemerintah harus berani tegas menolak aksesi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang coba diterapkan secara ketat di Indonesia.

Dalam klausul FTTC, kata Luluk, tembakau diindikasikan sebagai komoditas negatif karena mengakibatkan kecanduan (adiktif).

Baca juga: Akademisi: Tarif Cukai Tembakau Dapat Pengaruhi Persaingan Usaha

"Hal ini tidak adil karena keputusan ini dilakukan tanpa adanya riset dan pengembangan penelitian terlebih dahulu," ungkapnya.

Legislator PKB itu mengungkapkan, apabila rokok harus dilarang, bukan berarti tembakau sebagai komoditas perkebunan harus diberangus, karena komoditas tersebut bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku lain.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

BCA Finance Buka Lowongan Kerja untuk D3-S1 Semua Jurusan, Cek Syaratnya

BCA Finance Buka Lowongan Kerja untuk D3-S1 Semua Jurusan, Cek Syaratnya

Work Smart
Pemerintah Sebut Tarif Listrik Seharusnya Naik pada April hingga Juni 2024

Pemerintah Sebut Tarif Listrik Seharusnya Naik pada April hingga Juni 2024

Whats New
Jasa Marga: 109.445 Kendaraan Tinggalkan Jabotabek Selama Libur Panjang Paskah 2024

Jasa Marga: 109.445 Kendaraan Tinggalkan Jabotabek Selama Libur Panjang Paskah 2024

Whats New
Survei Prudential: 68 Persen Warga RI Pertimbangkan Proteksi dari Risiko Kesehatan

Survei Prudential: 68 Persen Warga RI Pertimbangkan Proteksi dari Risiko Kesehatan

Earn Smart
7 Contoh Kebijakan Fiskal di Indonesia, dari Subsidi hingga Pajak

7 Contoh Kebijakan Fiskal di Indonesia, dari Subsidi hingga Pajak

Whats New
'Regulatory Sandbox' Jadi Ruang untuk Perkembangan Industri Kripto

"Regulatory Sandbox" Jadi Ruang untuk Perkembangan Industri Kripto

Whats New
IHSG Melemah 0,83 Persen dalam Sepekan, Kapitalisasi Pasar Susut

IHSG Melemah 0,83 Persen dalam Sepekan, Kapitalisasi Pasar Susut

Whats New
Nasabah Bank DKI Bisa Tarik Tunai Tanpa Kartu di Seluruh ATM BRI

Nasabah Bank DKI Bisa Tarik Tunai Tanpa Kartu di Seluruh ATM BRI

Whats New
Genjot Layanan Kesehatan, Grup Siloam Tingkatkan Digitalisasi

Genjot Layanan Kesehatan, Grup Siloam Tingkatkan Digitalisasi

Whats New
Pelita Air Siapkan 273.000 Kursi Selama Periode Angkutan Lebaran 2024

Pelita Air Siapkan 273.000 Kursi Selama Periode Angkutan Lebaran 2024

Whats New
Puji Gebrakan Mentan Amran, Perpadi: Penambahan Alokasi Pupuk Prestasi Luar Biasa

Puji Gebrakan Mentan Amran, Perpadi: Penambahan Alokasi Pupuk Prestasi Luar Biasa

Whats New
Pengertian Kebijakan Fiskal, Instrumen, Fungsi, Tujuan, dan Contohnya

Pengertian Kebijakan Fiskal, Instrumen, Fungsi, Tujuan, dan Contohnya

Whats New
Ekspor CPO Naik 14,63 Persen pada Januari 2024, Tertinggi ke Uni Eropa

Ekspor CPO Naik 14,63 Persen pada Januari 2024, Tertinggi ke Uni Eropa

Whats New
Tebar Sukacita di Bulan Ramadhan, Sido Muncul Beri Santunan untuk 1.000 Anak Yatim di Jakarta

Tebar Sukacita di Bulan Ramadhan, Sido Muncul Beri Santunan untuk 1.000 Anak Yatim di Jakarta

BrandzView
Chandra Asri Bukukan Pendapatan Bersih 2,15 Miliar Dollar AS pada 2023

Chandra Asri Bukukan Pendapatan Bersih 2,15 Miliar Dollar AS pada 2023

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com