Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Negosiasi Kesepakatan GSP Indonesia-AS Alot 2,5 Tahun, Ini Alasannya

Kompas.com - 03/11/2020, 11:34 WIB
Yohana Artha Uly,
Ambaranie Nadia Kemala Movanita

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah Amerika Serikat (AS) akhirnya memperpanjang fasilitas Generalized System of Preferences (GSP) atau fasilitas bea masuk terhadap produk impor asal Indonesia pada 30 Oktober 2020.

Negosisasi kesepakatan dagang ini memakan waktu yang panjang yakni selama 2,5 tahun atau sejak Maret 2018.

Padahal, sejak 1980, Indonesia menjadi penerima fasilitas ini dan telah diperpanjang sebanyak 15 kali.

Baca juga: GSP Diperpanjang, Indonesia Targetkan Peningkatan Status Perdagangan dengan AS

Duta Besar Republik Indonesia untuk AS Muhammad Lutfi menjelaskan, ada banyak permasalahan yang membuat negosiasi berlangsung alot.

Utamanya karena cara pandang Indonesia dalam berdagang dinilai berbelit dan tak mengikuti perkembangan zaman sehingga menyulitkan AS.

"Jadi kalau saya melihat dari item-nya itu kalau enggak salah ada 9 item yang bikin sakit kepala semuanya. Itu Pemerintah AS, kalau saya boleh kasih contoh, mereka kesel juga," ujar Lutfi dalam konferensi pers secara virtual, Senin (2/11/2020) malam.

"Indonesia juga jago membuat permasalahan, yang perlu dipermasalahkan (oleh AS). Dan ini adalah bagian dari perdagangan masa lalu," tambahnya.

Lutfi menjelaskan, dalam negosiasi sebelumnya, pemerintah Indonesia masih memakai pola pikir perdagangan sebagai persaingan.

Padahal, saat ini AS telah menekankan prinsip kolaborasi dalam kerja sama dagang.

Ia mencontohkan, salah satu yang dikeluhkan AS adalah ekspor produk hortikultura ke Indonesia yang dipersulit.

Ini memang sengaja dilakukan Indonesia untuk melindungi produk dalam negeri.

Baca juga: Fasilitas GSP Diperpanjang, RI Ingin Rebut Peluang Pasar Thailand di AS

Kendati demikian, menurut Lutfi, nilai impor produk AS tersebut tidaklah besar dibandingkan volume kerjasama dagang Indonesia-AS yang mencapai 29 miliar dollar AS.

"Setelah kita lihat, contoh mereka mau jual kentang. Kentangnya ini dipakai sama industri. Sama kita itu disusah-susahin karena ini masalah persaingan," ujar Lutfi.

"Setelah kita hitung mereka mau jual kentang berapa, ini saya tidak bercanda, kentang yang mereka mau jual ke Indonesia itu nilainya hanya 1 juta dollar AS atau kira-kira Rp 14 miliar. Mau dimakan sama 270 juta rakyat Indonesia. Saya dalam hati saya, kenapa ya kok kita ribut masalah kayak gini," lanjut dia. 

Menurut Lutfi, masalah seperti itu merupakan warisan masa lalu yakni bersaing dalam perdagangan, di mana prinsipnya membeli sesedikit mungkin dan menjual sebanyak mungkin.

Namun, prinsip itu sudah tak lagi bisa dijalankan di masa kini.

"Itu masa lalu. Yang kita mesti hadapi sekarang ini adalah era kolaborasi, kita mesti sama-sama memastikan persamaan tersebut," kata mantan Menteri Perdagangan ini.

Oleh sebab itu, terkait perpanjangan GSP yang kembali diberikan pada Indonesia, Lutfi bilang, AS meminta untuk produk hortikultura dari AS tak lagi dipersulit.

Menurutnya, tak ada produk-produk tambahan dalam kerjasama GSP kali ini, hanya mempertegas akses produk AS bisa bersaing dengan baik di Indonesia,

Baca juga: Kemenkop UKM Ajak UMKM Manfaatkan Fasilitas GSP Ekspor Produk ke AS

"Imbal baliknya hanya memastikan proses-prosesnya, yang namanya sunset clause dalam RIPH (Rekomendasi Impor Produk Hortikultura). Karena (impor hortikultura dari AS biasanya) buat Lebaran dan Imlek, hanya dipastikan supaya mereka bisa impor dan barangnya laku tepat pada waktunya," jelas Lutfi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com