Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Chandra Budi

Bekerja di Ditjen Pajak, Alumnus Pascasarjana IPB

Kemudahan Perpajakan yang Ada dalam UU Cipta

Kompas.com - 09/11/2020, 09:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Undang-undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang secara resmi diundangkan pada tanggal 2 Nopember 2020 berisikan banyak aturan lintas sektoral (Omnibus Law), salah satuya mengatur tentang perpajakan.

Bahkan, dalam UU ini, sekaligus 3 (tiga) Undang-undang pajak lama yang diamandemen, yaitu UU Pajak Penghasilan, UU Pajak Pertambahan Nilai dan UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Tentunya, menarik untuk mengulas tentang perubahan apa saja yang ada dalam UU Cipta Kerja terkait perpajakan.

Kemudahan Berusaha

Setiap UU tentunya berisikan serangkaian aturan pelaksana untuk mencapai tujuan kesejahteraan rakyat Indonesia. Pun, dengan UU Cipta Kerja ini bertujuan untuk memenuhi hak warga negara Indonesia atas pekerjaan dan penghidupan yang layak melalui penciptaan lapangan kerja di tengah persaingan yang kompetitif dan tuntutan globalisasi ekonomi.

Dengan kata lain, Pemerintah ingin merespon persaingan investasi global dengan menciptakan iklim berusaha yang ramah terhadap investor dengan tetap memperhatikan keadilan bagi pekerjanya.

Upaya menciptakan iklim usaha yang kompetitif, masih menjadi Pekerjaan Rumah (PR) bagi Pemerintah sampai saat ini. Karena berdasarkan data World Bank (2020), peringkat kemudahan berusaha (ease of doing business) Indonesia masih rendah di dibandingkan negara negara lain.

Baca juga: Sri Mulyani: Dari Rp 120,6 Triliun, Realisasi Insentif Pajak di Bawah Rp 30 Triliun

 

Indonesia menduduki peringkat 73 dari 190 negara yang di survei. Bahkan, di level ASEAN Indonesia hanya bertengger di peringkat 6 dari 10 negara, tiga tingkat lebih rendah dari Vietnam yang selama ini menjadi kompetitor utama.

Ada 11 faktor yang dinilai untuk menentukan peringkat kemudahan berusaha, di antarnya kemudahan dalam memulai bisnis baru, kemudahan perijinan sektor kontruksi dan kemudahan untuk membayar pajak.

Terkait kemudahan untuk membayar pajak, beberapa indikator yang dinilai meliputi jumlah pembayaran pajak, waktu yang diperlukan untuk membayar pajak dan persen kontribusi pajak dari keuntungan.

Upaya nyata untuk meningkatkan kemudahan berusaha di bidang perpajakan, dimanifestasikan ke dalam tiga kelompok utama yaitu peningkatan pendanaan investasi, peningkatan kepatuhan Wajib Pajak secara sukarela (voluntary payment) dan penciptaan keadilan iklim berusaha di dalam negeri.

Sebenarnya, sebelum UU ini terbit, Pemerintah telah menyisipkan beberapa ketentuan perpajakan dalam UU Nomor 2 Tahun 2020 tentang Kebijakan Sistem Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pendemi Covid-19.

Hal penting yang diatur adalah penurunan tarif PPh Badan secara bertahap, mulai menjadi 22 persen di tahun ini.

Baca juga: Ketentuan Pajak UMKM Akan Dirombak

Dalam kelompok peningkatan pendanaan investasi, beberapa ketentuan tentang subjek dan objek pajak diubah. Misalnya, penghasilan tertentu termasuk dividen dari luar negeri tidak dikenakan PPh sepanjang diinvestasikan di Indonesia.

Selain itu, bagi Warga Negara Asing (WNA) yang menjadi subjek pajak dalam negeri dengan keahlian tertentu hanya dikenakan pajak atas penghasilan dari Indonesia saja, tidak lagi menganut world wide income. Ketentuan baru ini diharapkan mendorong investor asing untuk semakin gencar berinvestasi di Indonesia.

Relaksasi

Klaster perpajakan di UU Cipta Kerja terdapat dalam Pasal 111 untuk perubahan di UU PPh, Pasal 112 untuk perubahan di UU PPN dan Pasal 113 untuk perubahan di UU KUP. Artinya, UU Cipta Kerja ini sekaligus mengamandemen aturan formil dan materil perpajakan secara lengkap.

Perubahan yang kiranya berdampak besar di aturan formil adalah pengaturan ulang besaran sanksi administrasi perpajakan.

Selama ini, sanksi administrasi perpajakan berbentuk bunga dengan besaran dua persen setiap bulannya, paling lama 24 bulan. Dengan demikian sanksi administrasi dapat dikenakan maksimal 48 persen dari pajak yang kurang bayar atau pokoknya.

Melalui UU Cipta Kerja ini, sanksi administratif termasuk juga sanksi pidana mengalami relaksasi. Dengan tetap mempertimbangan rasa keadilan, maka besarnya sanksi administratif dibagi dua yaitu sanksi yang dikenakan pada saat pembetulan Surat Pemberitahuan (SPT) dan sanksi yang dikenakan sebagai dampak dari kegiatan pemeriksaan pajak.

Seperti diketahui, pemeriksaan pajak merupakan ultimum remidium dari serangkaian kegiatan pengawasan kepatuhan Wajib Pajak. Maka, apabila Wajib Pajak diperiksa, sebenarnya sudah melalui serangkaian kegiatan pendahuluan yang lebih persuasif.

Wajar, sekali lagi untuk keadilan, Wajib Pajak yang membetulkan SPT sebelum ditetapkan melalui pemeriksaan akan dikenakan sanksi lebih kecil. Dalam UU ini, sanksi adminsitarif berupa bunga setiap bulannya di hitung dengan formula suku bunga acuan ditambah lima persen dibagi 12.

Hasil simulasi menunjukan hasilnya kurang satu persen perbulan atau 50 persen lebih rendah dari besaran sanksi saat ini. Tetapi, pada tahapan pemeriksaan pajak, formulanya akan berbeda menjadi hanya sekitar 20 persen lebih rendah dari kondisi sebelum UU Cipta Kerja lahir.

Melalui UU Cipta Kerja ini juga, pemerintah ingin memberikan kepastian hukum kepada Wajib Pajak sekaligus peningkatan investasi. Hal ini tergambar dalam ketentuan baru mengenai pajak batu bara, konsinyasi dan tindak lanjut pidana pajak yang inkracht.

Dalam beleid ini, penyerahan batu bara termasuk penyerahan Barang Kena Pajak (BKP). Ini berarti, baru bara akan dikenakan PPN dan konsekuensinya pengusaha baru bara berhak mengajukan restitusi, apabila masukan pajaknya lebih besar dari pajak keluarannya.

Baca juga: Sri Mulyani: Cipta Kerja Tegaskan Batu Bara Sebagai Barang Kena Pajak

 

Seperti diketahui, polemik mengenai restitusi PPN batu bara sempat hangat sekitar Tahun 2000 lalu.

Kala itu, para kontraktor Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) mengajukan uji materi atas Peraturan Pemerintah (PP) yang menyebutkan batu bara bukanlah BKP. Padahal, dalam UU PPN Nomor 18 Tahun 2000, tidak disebutkan secara ekplisit batu bara masuk dalam kategori tidak dikenakan PPN.

Baru pada amandemen UU PPN selanjutnya, batu bara secara ekplisit dinyatakan bukanlah BKP. Implikasi dari aturan ini adalah para kontraktor tidak dapat mengkreditkan dan mengajukan restitusi atas PPN mereka.

Ini memberikan tekanan finansial kepada para kontraktor karena bisnis batu bara memerlukan biaya modal cukup besar di tahap eksplorasinya.

Ketentuan tindaklanjut atas putusan pengadilan pidana perpajakan juga disempurnakan. Selama ini, Direktorat Jenderal Pajak tetap menerbitkan surat ketetapan pajak untuk menagih pajak terutang dan sanksinya, pun setelah putusan pidana di pengadilan.

Filosofinya, sanksi dalam putusan pengadilan bukanlah denda pajak namun denda pidana. Walaupun, berapa kasus yang naik ke pengadilan pajak memenangkan pihak pemohon – Wajib Pajak.

Pemerintah responsif memberikan kepastian hukum kepada Wajib Pajak dengan menyatakan bahwa pidana pajak yang telah diputus pengadilan tidak lagi diterbitkan ketetapan pajak. Dengan demikian, prinsip rumah tumbuh untuk aturan perpajakan terakomodir dalam UU Cipta Kerja ini.

Aturan perpajakan makin disempurnakan lagi untuk mendorong kebijakan sektor keuangan yang pro rakyat.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com