Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Sudarto
Ketua Umum FSP-RTMM-SPSI

Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP-RTMM-SPSI)

Tumbal Sengkarut Cukai Rokok

Kompas.com - 12/11/2020, 06:12 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

ENTAH apa yang sedang terjadi di lingkaran pemerintah saat ini. Berkali-kali, pengumuman kebijakan tarif cukai hasil tembakau tahun 2021 diundur tanpa alasan yang jelas. Padahal, berdasarkan informasi yang beredar di media seluruh pembahasan sudah rampung.

Sungguh ironis. Ratusan ribu pekerja industri hasil tembakau terpaksa kembali menggantungkan nasib dan harapannya kepada Kementerian Keuangan hanya demi menanti keputusan kebijakan cukai hasil rokok 2021 itu.

Rasa khawatir yang seolah menjadi momok tahunan, utamanya menjelang September – Oktober, di mana lazimnya tarif cukai tahun berikutnya diumumkan masih menggelayut.

Kecemasan para pekerja industri hasil tembakau (IHT) semakin membuncah manakala pemerintah justru telah memastikan tarif cukai tahun depan bakal naik. Bahkan, kabarnya mencapai 17 persen, sebuah angka yang sama sekali tidak masuk akal di tengah kondisi sangat sulit seperti sekarang ini.

Kita tahu bahwa produksi IHT, terutama segmen sigaret kretek tangan (SKT), yang adalah sawah ladang bagi buruh pelinting, terus turun akibat regulasi yang mencekik.

Sederet kebijakan berkukuh menyudutkan produk IHT, termasuk agenda rutin tahunan kenaikan cukai yang tak menggubris "keadilan" terhadap buruh.

Ratusan ribu buruh telah menjadi tumbal regulasi yang ketat dan kenaikan cukai yang membabi buta tanpa memperhatikan realitas. Akibatnya, penghasilan buruh harus turun bahkan kehilangan pekerjaan. Para pengusaha IHT mungkin bisa sekejap berganti usaha, tetapi tidak dengan para buruhnya.

Tentu ini menjadi sebuah ironi di tengah hak setiap warga negara atas jaminan kepastian memperoleh pekerjaan dan penghasilan yang layak sebagaimana diamanatkan UUD 45 Pasal 27 ayat(2).

Saat ini Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM-SPSI) menaungi 244.021 anggota di mana hampir 61 persen (148.693 anggota) bekerja sebagai buruh IHT. Mayoritas mereka berada di segmen SKT yang padat karya.

Jumlah buruh IHT ini jauh merosot dibanding tahun-tahun sebelumnya. Dalam 10 tahun terakhir saja, tercatat 60.889 orang yang sudah menjadi tumbal keganasan regulasi yang ketat.

Jumlah itu tentu lebih besar manakala ditambah para buruh di luar keanggotaan FSP RTMM-SPSI.

Mereka terpaksa kehilangan pekerjaan lantaran banyak pabrikan tutup dan melakukan rasionalisasi tenaga kerja akibat regulasi pengendalian konsumsi rokok, yang kenyataannya mengarah kepada mematikan IHT.

Baca juga: DPR Sebut Kenaikan Cukai Bisa Tingkatkan Peredaran Rokok Ilegal

Pukulan ganda

Celakanya, tahun ini ujian para buruh pelinting semakin berat. Para buruh harus menghadapi pukulan ganda sekaligus.

Tahun 2020, cukai naik 23 persen lewat Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 152/2019 dan di tengah upaya IHT beradaptasi, Indonesia dihantam pandemi Covid-19, yang melumpuhkan banyak sektor usaha, tidak terkecuali IHT.

Sayangnya, lagi-lagi pemerintah seolah tak peduli dan abai dengan tetap kukuh berencana menaikkan tarif cukai 2021.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com