Undang-undang Ketenagalistrikan kita menyebutkan bahwa kebijakan penetapan tarif listrik tetap dipegang pemerintah. Pemerintah menetapkan pedoman penetapan tarif tenaga listrik untuk konsumen (Pasal 5).
Dengan kata lain, meskipun keterlibatan swasta dalam pelaksanaan penyediaan tenaga listrik terus didorong dan terus meningkat, namun hal itu tidak serta merta menggantikan peran BUMN (dalam hal ini PLN), termasuk juga tidak akan mengurangi kendali pemerintah soal penetapan tarif listrik.
Sehingga, terlalu berspekulasi bahwa swastanisasi kemudian akan mendorong terjadinya liberalisasi tarif. Karena faktanya, UU Kelistrikan kita masih memberikan kewenangan penuh kepada pemerintah untuk menetapkan besaran tarif listrik.
Terdapat pendapat yang mengatakan bahwa swastanisasi akan mendorong kenaikan tarif listrik. Pandangan ini mengatakan bahwa kenaikan tarif listrik akibat beban subsidi listrik yang besar sehingga tidak dapat ditanggung pemerintah (APBN). Karena APBN tak sanggup menanggung beban subsidi, maka beban tersebut dialihkan (pass through) menjadi beban PLN.
Dan karena PLN tak sanggup menanggung beban subsidi tersebut, maka PLN akan mengalihkannya ke konsumen melalui kenaikan tarif listrik. Pandangan ini masuk akal. Namun, bila dikembalikan kepada UU Kelistrikan, pandangan ini tertolak dengan sendirinya, karena kebijakan tarif listrik tetap diatur pemerintah.
Pada tahun 2014, memang telah ada kesepakatan tentang berlakunya Automatic Tarif Adjustment (ATA) antara pemerintah dan DPR. Pemberlakuan ATA ini diterapkan bagi pelanggan non-subsidi, sedangkan pelanggan bersubsidi tidak berlaku.
Karena pelanggan bersubsidi (kurang mampu) tidak diberlakukan ATA, dengan sendirinya tarifnya ditetapkan pemerintah. Dan bila tarif listrik ke pelanggan bersubsidi ternyata di bawah BPP maka pemerintah akan memberikan subsidi kepada PLN. Dengan demikian, pandangan bahwa pemerintah akan menghentikan subsidi dipastikan tidak akan terjadi selama masih ada pelanggan bersubsidi.
Dengan penerapan ATA ini maka penyesuaian tarif tenaga listrik dilakukan setiap bulan disesuaikan dengan perkembangan yang terjadi pada faktor-faktor yang mempengaruhi biaya pokok penyediaan listrik.
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi biaya pokok penyediaan listrik, yaitu: (i) nilai tukar mata uang Dollar Amerika terhadap mata uang Rupiah (kurs), (ii) harga minyak mentah ICP dan (iii) inflasi.
Pemberlakuan ATA ini antara lain didasari oleh fakta bahwa biaya penyedian tenaga listrik seperti bahan bakar, beban keuangan dan lain-lain dipengaruhi oleh perubahan kurs, ICP dan inflasi yang menyebabkan BPP dapat berubah setiap saat.
Pertanyaannya: apakah kemudian, dengan pemberlakuan ATA ini, ketika harga-harga yang membentuk BPP mengalami kenaikan lantas tarif listrik juga akan naik?
Jawabannya: ternyata tidak. Faktanya, dengan pertimbangan bahwa untuk menjaga daya beli masyarakat, sejak tahun 2017 hingga sekarang, pemerintah memutuskan tidak memberlakukan ATA.
Meskipun, ATA merupakan kewenangan PLN, pemerintah tetap menggunakan “vetonya” untuk membatalkan pemberlakuan ATA. Sebagai konsekuensinya, pemerintah dan DPR telah bersepakat untuk memberikan “dana kompensasi”, sebagaimana yang telah saya jelaskan di awal tulisan ini. Dana kompensasi tersebut diberikan bertujuan demi menjaga keberlangsungan usaha PLN.
Baca juga: Menteri ESDM Minta PLN Pangkas Biaya Penyediaan Listrik
Saya memiliki keyakinan bahwa pemerintah tidak akan membebani masyarakatnya dengan, misalnya, memberlakukan tarif listrik yang tinggi, di saat masyarakat (termasuk pelaku usaha) masih mengalami tekanan akibat krisis pandemi Covid-19.
Pemerintah tentunya telah belajar dari pengalaman krisis ekonomi di tahun 1998, dimana ketika itu di tengah krisis pemerintah justru menaikan harga BBM hingga lebih dari 150 persen, karena mengikuti saran IMF agar mencabut subsidi.
Akibatnya, saat itu krisis ekonomi justru meledak dengan derajat krisis yang sangat parah disertai dengan inflasi yang sangat tinggi, lebih dari 70 persen. Dengan demikian, pendapat yang menyatakan bahwa swastanisasi akan menyebabkan tarif listrik naik berlipat dan subsidi dihapus cenderung hanya spekulatif.
Dan saya juga memiliki keyakinan bahwa pemerintah (dengan dukungan DPR) tetap berkomitmen untuk menjaga kelangsungan usaha PLN. Pemerintah dan DPR pastinya tidak akan membiarkan PLN dalam kondisi tertekan secara keuangan, karena hal itu akan menghambat upaya negara untuk mewujudkan pemerataan sektor kelistrikan secara nasional.
Dengan kata lain, saya memiliki keyakinan bahwa pemerintah pun akan memenuhi komitmennya untuk membayarkan subsidi dan dana kompensasi sesuai dengan besaran yang telah ditetapkan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.