Pada 1920, Krause menerbitkan buku berisikan 400 foto dengan judul "Bali 1912" dan memperoleh perhatian besar publik di Eropa. Bali pun semakin berkibar sebagai destinasi wisata internasional, hingga kini.
Sejarah pariwisata yang panjang tentu aset yang tidak ternilai bagi Bali. Apa yang telah diperoleh Bali hingga kini bukan sebuah kebetulan tetapi melalui proses yang panjang.
Bagaimana dengan daerah lain yang sedang dikembangkan menjadi "Bali Baru" tentu menjadi sebuah pertanyaan besar.
Seperti yang juga dipertanyakan oleh Ritchie dan Crouch (2000): apakah sebuah destinasi "bintang" (begitu mereka memberi istilah) diciptakan atau telah dilahirkan (telah tercipta sebagai sebuah destinasi)?
Mereka memberi contoh Rusia yang kaya akan sumber daya alam namun kurang dalam penyebaran destinasinya dibandingkan dengan Singapura, Las Vegas dan sebagainya, yang "miskin" sumber daya alam namun sukses dalam pengembangan pariwisata.
Ritchie dan Crouch menyarankan pentingnya pemahaman dasar mengenai penggerak sumber daya, dan mengkategorikannya ke dalam sumber daya yang mewakili sumber keunggulan komparatif atau kompetitif.
Sumber daya yang diberkahi seperti iklim dan pemandangan dikategorikan sebagai sumber keunggulan komparatif.
Adapun sumber daya yang diciptakan oleh destinasi, termasuk cara bagaimana sumber daya yang diberkahi tersebut dipasarkan kepada wisatawan, merupakan sumber keunggulan kompetitif.
Becermin dari pemaparan tersebut, Indonesia dengan berbagai destinasi yang ditawarkan unggul dari segi komparatif namun tidak kompetitif.
Bersaing untuk menarik wisman dalam pemasaran destinasi, tidak bisa mengandalkan sumber daya komparatif saja.
Selain aspek sumber daya, yang tidak kalah penting dalam menciptakan destinasi yang atraktif adalah terkait dengan branding.
Branding destinasi dimaknai secara luas tidak cuma soal simbol-simbol atau pemilihan tagline promosi, namun ke hal yang lebih mendasar, yaitu bagaimana citra suatu destinasi yang diinginkan oleh pengelola (brand identity) menempati "tempat" yang sesuai di dalam benak wisatawan.
Ya, ini menyangkut brand positioning. Apa yang diinginkan oleh pengelola destinasi tidak selalu sesuai di mata wisatawan. Wisatawan memiliki pandangan tersendiri terhadap suatu destinasi (brand image).
Memang tidak mudah bagi pengelola destinasi untuk mengubah citra yang telah melekat tertanam di benak wisatawan. Pendapat Gunn (1988) yang telah lampau namun masih relevan hingga kini patut diperhatikan.
Menurutnya, citra dibentuk oleh dua tingkat yaitu organik dan induced (diinduksi). Citra organik (organic image) dikembangkan dari informasi yang diterima sehari-hari seperti bacaan, pemberitaan dan kunjungan aktual.