Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Untar untuk Indonesia
Akademisi

Platform akademisi Universitas Tarumanagara guna menyebarluaskan atau diseminasi hasil riset terkini kepada khalayak luas untuk membangun Indonesia yang lebih baik.

Mungkinkah Mencipta "Bali Baru"?

Kompas.com - 24/11/2020, 06:07 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Frangky Selamat

SEBELUM pandemi melanda Indonesia, jumlah wisatawan mancanegara (wisman) yang berkunjung ke berbagai destinasi di tanah air sedang dalam tren meningkat.

Data Badan Pusat Statistik memperlihatkan bahwa pada 2018 terdapat 15,81 juta wisman yang datang. Adapun pada 2019 terdapat 16,11 juta wisman yang berkunjung ke Indonesia.

Sementara mengacu pada data dari Kemenparekraf kontribusi sektor pariwisata terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) adalah 4,5 persen pada 2018 dan 4,8 persen pada 2019. Tren yang meningkat ini mestinya berlanjut pada 2020.

Namun, siapa nyana apa yang terjadi, kita semua telah mengetahui. Virus COvid-19 telah memporakporandakan mimpi indah dunia pariwisata kita.

Walau target 20 juta wisman pada 2019 tidak tercapai, bahkan meleset cukup jauh, namun sejumlah sasaran telah ditetapkan seperti pengembangan sepuluh destinasi prioritas berskala internasional dan memenuhi prinsip pembangunan berkelanjutan. Sepuluh destinasi prioritas itu disebut-sebut sebagai "Bali Baru".

Belakangan dari sepuluh destinasi prioritas tersaring lagi menjadi lima destinasi "super prioritas" yaitu Danau Toba, Borobudur, Labuan Bajo, Mandalika, dan Likupang.

Situasi pandemi tidak menggoyahkan program ini untuk terus berjalan. Kementerian Keuangan telah menegaskan bahwa anggaran untuk pengembangan destinasi tersebut tidak dipotong.

Pertimbangannya adalah sektor pariwisata akan cepat pulih sehingga tidak boleh terganggu. Harapannya tentu sasaran tahun 2024, yang ditetapkan sebelum pandemi ini, yang ingin mendatangkan 30 juta wisman dapat tercapai.

Baca juga: Menhub Ajak Maskapai Bantu Pemerintah Kembangkan 5 Bali Baru

Lima destinasi super prioritas menjadi andalannya sebagai "Bali Baru". Apakah itu bisa menjadi kenyataan?

Menilik sejarah pariwisata Bali yang tercatat dimulai tahun 1900-an, maka pada 2020 ini usianya telah lebih dari satu abad, tepatnya 120 tahun.

Wisman "resmi" pertama yang mengunjungi Bali adalah seorang Belanda bernama Heer H. Van Kol dengan bukunya yang diterbitkan pada 1902 di Leiden, Belanda (I Putu Anom dkk, 2017).

Dia adalah orang yang secara sadar melakukan perjalanan wisata di Bali dan menuliskan pengalamannya di dalam buku yang berjudul "Uit Onze Kolonien" (Dari Koloni Kami).

Walau sempat pecah perang Puputan Badung (1906) dan Puputan Klungkung (1908) tidak menghentikan pesona Bali di mata Kolonial Belanda saat itu.

Pada 1912, Hindia Belanda dinyatakan aman dan pemerintah kolonial mulai membangun daerah jajahannya untuk menjaga citra Belanda di mata internasional.

Pada 1920, Krause menerbitkan buku berisikan 400 foto dengan judul "Bali 1912" dan memperoleh perhatian besar publik di Eropa. Bali pun semakin berkibar sebagai destinasi wisata internasional, hingga kini.

Destinasi diciptakan atau telah dilahirkan

Sejarah pariwisata yang panjang tentu aset yang tidak ternilai bagi Bali. Apa yang telah diperoleh Bali hingga kini bukan sebuah kebetulan tetapi melalui proses yang panjang.

Bagaimana dengan daerah lain yang sedang dikembangkan menjadi "Bali Baru" tentu menjadi sebuah pertanyaan besar.

Seperti yang juga dipertanyakan oleh Ritchie dan Crouch (2000): apakah sebuah destinasi "bintang" (begitu mereka memberi istilah) diciptakan atau telah dilahirkan (telah tercipta sebagai sebuah destinasi)?

Mereka memberi contoh Rusia yang kaya akan sumber daya alam namun kurang dalam penyebaran destinasinya dibandingkan dengan Singapura, Las Vegas dan sebagainya, yang "miskin" sumber daya alam namun sukses dalam pengembangan pariwisata.

Ritchie dan Crouch menyarankan pentingnya pemahaman dasar mengenai penggerak sumber daya, dan mengkategorikannya ke dalam sumber daya yang mewakili sumber keunggulan komparatif atau kompetitif.

Sumber daya yang diberkahi seperti iklim dan pemandangan dikategorikan sebagai sumber keunggulan komparatif.

Adapun sumber daya yang diciptakan oleh destinasi, termasuk cara bagaimana sumber daya yang diberkahi tersebut dipasarkan kepada wisatawan, merupakan sumber keunggulan kompetitif.

Becermin dari pemaparan tersebut, Indonesia dengan berbagai destinasi yang ditawarkan unggul dari segi komparatif namun tidak kompetitif.

Bersaing untuk menarik wisman dalam pemasaran destinasi, tidak bisa mengandalkan sumber daya komparatif saja.

Branding destinasi

Selain aspek sumber daya, yang tidak kalah penting dalam menciptakan destinasi yang atraktif adalah terkait dengan branding.

Branding destinasi dimaknai secara luas tidak cuma soal simbol-simbol atau pemilihan tagline promosi, namun ke hal yang lebih mendasar, yaitu bagaimana citra suatu destinasi yang diinginkan oleh pengelola (brand identity) menempati "tempat" yang sesuai di dalam benak wisatawan.

Ya, ini menyangkut brand positioning. Apa yang diinginkan oleh pengelola destinasi tidak selalu sesuai di mata wisatawan. Wisatawan memiliki pandangan tersendiri terhadap suatu destinasi (brand image).

Memang tidak mudah bagi pengelola destinasi untuk mengubah citra yang telah melekat tertanam di benak wisatawan. Pendapat Gunn (1988) yang telah lampau namun masih relevan hingga kini patut diperhatikan.

Menurutnya, citra dibentuk oleh dua tingkat yaitu organik dan induced (diinduksi). Citra organik (organic image) dikembangkan dari informasi yang diterima sehari-hari seperti bacaan, pemberitaan dan kunjungan aktual.

Citra yang diinduksi (induced image) dibentuk melalui promosi yang dilakukan pengelola destinasi. Gunn menyarankan agar pemasar destinasi fokus pada modifikasi induced image ketimbang organic image karena tidak banyak yang bisa dilakukan untuk mengubahnya.

Pemberitaan sehari-hari, apalagi di zaman yang didominasi oleh pemberitaan melalui medsos, sulit untuk dibendung. Persepsi yang tidak sesuai kenyataan bisa saja telanjur terbentuk di dalam benak calon wisman. Celakanya, persepsi diyakini sebagai kenyataan di dalam benak wisatawan.

Branding juga menyangkut ruang lingkup yang lebih luas daripada sekadar destinasi, karena branding menyangkut enam tingkatan (Hopper, 2002) yaitu:

  1. Country brand
  2. Country tourism brand
  3. State tourism brands
  4. Regional/macro regional brands
  5. Local community brands
  6. Individual tourism business brands.

Nomor satu (country brand) adalah yang paling luas ruang lingkupnya karena menyangkut nation brand. Baru setelah itu di bawahnya, yang menyangkut brand pariwisata.

Untuk membangun brand destinasi yang kuat, tentu tidak lepas dari nation branding. Nation brand mesti dibangun lebih dahulu untuk memudahkan membentuk country tourism brand. Demikian juga Indonesia.

Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif mengusung "Wonderful Indonesia" sementara Kementerian Perdagangan mengangkat "Remarkable Indonesia". Semestinya nation brand itu satu.

Ketidakpaduan nation brand tentu akan membingungkan untuk membangun brand destinasi yang kuat.

Kembali ke pertanyaan, mungkinkah mencipta "Bali Baru"? Jawabannya secara teoretis dan praktis, tentu saja bisa walaupun mensyaratkan berbagai aspek yang tidak mudah untuk diwujudkan.

Sasaran-sasaran yang ingin dicapai memerlukan kerja keras dan yang terpenting kerja cerdas.

Jangan sampai sasaran yang begitu ambisius hanya akan menjadi impiah indah, seperti si pungguk merindukan bulan.

Franky Selamat
Dosen Tetap Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Tarumanagara

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com