Baca juga: Nasib Karyawan Outsourcing di UU Cipta Kerja
Pemerintah dan DPR mengubah skema kontrak kerja dalam UU Cipta Kerja. Dalam Omnibus Law Cipta Kerja, Pasal 59 UU Nomor 13 Tahun 2003 dihapus. Pasal tersebut mengatur batasan PKWT.
Dalam aturan lama di UU Ketenagakerjaan, perusahaan hanya bisa melakukan kontrak kerja perjanjian PKWT paling lama 3 tahun. Setelah itu, perusahaan diwajibkan untuk mengangkat pekerja atau buruh sebagai karyawan tetap (PKWTT) jika ingin mempekerjakannya setelah lewat masa 3 tahun.
Menteri Ketenagakerjaan ( Menaker) Ida Fauziyah, menjelaskan dalam skema batasan waktu kontrak akan diatur dalam regulasi turunan seperti Peraturan Pemerintah (PP).
Namun dalam pembahasannya masih akan mempertimbangkan masukan pengusaha dan serikat buruh. Menurut Ida, jika diatur batasan maksimum kontrak PKWT selama 3 tahun sebagaimana di UU Nomor 13 Tahun 2003, justru tidak fleksibel dan memberatkan dunia usaha. Dia mencontohkan, PKWT bisa saja diperpanjang hingga 5 tahun lebih.
Baca juga: Nasib Karyawan Outsourcing di RUU Omnibus Law
"Bisa saja lebih dari lima tahun (masa batasan kontrak). Bisa kurang. Dinamikanya sangat tinggi. Kalau langsung diatur di undang-undang, kami khawatir justru tidak bisa mengikuti dinamika tersebut," kata Ida dikutip dari Harian Kompas.
"Kami sudah sepakat bersama teman-teman di forum tripartit (pemerintah, pengusaha, dan buruh), hal ini akan dibicarakan dalam perumusan peraturan pemerintah (PP). Jadi, tidak diisi sendiri oleh pemerintah," kata dia lagi.
Ia beralasan, dihapuskannya Pasal 59 yang mengatur batas waktu PKWT karena UU Cipta Kerja menganut fleksibilitas. Hal itu juga sudah lazim diterapkan di negara lain untuk kemudahan berusaha investor.
"Kita belajar dari beberapa negara. Jika hal itu diatur di undang-undang, tidak akan ada fleksibilitas pengaturan. Persoalan ini tidak sederhana ketika dinamika tenaga kerja tinggi," ujar dia.
Baca juga: Keberatan dengan UU Cipta Kerja? Sampaikan ke Sini
Ia juga mengungkapkan ada beberapa keuntungan yang bisa didapatkan para pekerja kontrak dalam UU Cipta Kerja, terutama terkait perlindungan pekerja saat menjadi korban pemutusan hubungan kerja (PHK).
Dikatakan Ida, pekerja dengan status kontrak akan mendapatkan kompensasi jika terkena PHK.
"Oh, ada (keuntungan pekerja kontrak di UU Cipta Kerja). Dulu, PKWT itu tidak ada kompensasi kalau berakhir masa kerjanya. Sekarang, kalau kontrak berakhir, dia mendapat kompensasi," ungkap Ida
Baca juga: Pengusaha Setuju UMP 2022 Mengacu pada UU Cipta Kerja
Selama ini banyak kasus perusahaan memecat pekerja kontrak kapan saja, baik karena alasan efisiensi maupun kinerja karyawan yang tak sesuai harapan.
Menurut Ida, dengan adanya kompensasi di UU Cipta Kerja bagi pekerja yang berstatus kontrak PKWT, secara tidak lansung karyawan atau buruh akan mendapatkan perlindungan lebih besar dari negara.
"Pengusaha akhirnya berpikir, mau saya kontrak terus-terusan pun, tetap saja saya harus bayar pesangon. Ini sebenarnya bentuk perlindungan yang tidak kita atur di UU sebelumnya," ucap Ida.
"Pada prinsipnya, RUU ini ingin melindungi semua pekerja. Kelompok pekerja yang eksis, kelompok pencari kerja, dan kelompok pekerja pada sektor UMKM ," imbuh dia.
Itulah beberapa perbedaan PKWT dan PKWTT baik sebelum atau setelah disahkannya UU Cipta Kerja.
Baca juga: Mengapa UU Cipta Kerja Disebut Omnibus Law?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.