Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Untar untuk Indonesia
Akademisi

Platform akademisi Universitas Tarumanagara guna menyebarluaskan atau diseminasi hasil riset terkini kepada khalayak luas untuk membangun Indonesia yang lebih baik.

Waralaba: Antara Janji, Ekspektasi dan Realisasi

Kompas.com - 04/12/2020, 09:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Berdasarkan pengertian tersebut, terdapat setidaknya enam kriteria suatu usaha memenuhi syarat sebagai waralaba yaitu:

1) memiliki ciri khas usaha,
2) terbukti sudah memberikan keuntungan,
3) memiliki standar atas barang dan/atau jasa yang ditawarkan yang dibuat secara tertulis,
4) mudah diajarkan dan diaplikasikan,
5) adanya dukungan yang berkesinambungan, dan
6) memiliki Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) yang telah terdaftar.

Implikasi serius dari enam kriteria tersebut adalah pewaralaba harus menyiapkan bisnisnya agar siap menjadi waralaba yang sesungguhnya, bukan “jadi-jadian”.

Baca juga: Pemegang Waralaba Pizza Hut Terbesar di AS Terancam Bangkrut

Pertama, secara prinsip bisnis waralaba menjual “brand” yang di dalamnya memiliki diferensiasi yang khas dibandingkan dengan produk kompetitor, baik dari produk unik yang ditawarkan hingga bagaimana mengoperasikan bisnis tersebut. Ciri khas yang melekat itu yang menjadi kekuatan daya saing.

Kedua, bisnis yang siap diwaralabakan adalah bisnis yang telah mapan dan model bisnisnya telah dikembangkan sedemikian rupa sehingga sesuai dengan konsep waralaba. Karena bisnis yang diwaralabakan telah mapan, maka mestinya telah terbukti menguntungkan.

Bisnis waralaba mencoba mereplikasi kesuksesan usaha di suatu tempat untuk diulang di tempat lain dengan konsep yang sama. Jadi rasanya agak riskan jika ada bisnis yang baru seumur jagung kemudian diwaralabakan.

Ketiga, bisnis waralaba harus memiliki SOP (Standard Operating Procedure) agar produk yang dihasilkan dan layanan yang diberikan antar gerai relatif sama. Konsistensi menghasilkan produk yang berkualitas dan layanan prima menjadi kunci waralaba yang sukses.

Keempat, bisnis waralaba semestinya mengembangkan produk dan jasa yang sederhana namun menarik bagi pasar, sehingga mudah bagi pewaralaba untuk mengajarkan kepada mitra terwaralaba untuk diaplikasikan. Untuk mendukung itu, pewaralaba selayaknya memiliki training center yang memadai.

Kelima, pewaralaba harus memiliki staf pendukung penuh di lapangan untuk memberikan dukungan dan bantuan kepada mitra terwaralaba. Staf pendukung tentu saja harus disesuaikan dengan jumlah gerai yang ada.

Di sini pewaralaba diingatkan mengenai kemampuan untuk memberikan dukungan kepada seluruh gerai. Tidak semata “jor-joran” mengejar pembukaan gerai tapi tidak mampu untuk menyiapkan dukungan kepada terwaralaba. Sasaran pertumbuhan harus diukur sesuai kemampuan dari staf pendukung.

Keenam atau terakhir, bisnis waralaba yang dikembangkan harus telah memiliki perlindungan HAKI (Hak atas Kekayaan Intelektual). Ini akan memberikan kepastian dan rasa aman bagi mitra terwaralaba yang mengeluarkan sejumlah uang untuk berbisnis waralaba.

Perlindungan hukum menunjukkan bahwa bisnis waralaba dijalankan dengan sungguh-sungguh dan memperhatikan keberlanjutan.

Biasanya pewaralaba selalu memberikan ekspektasi yang cenderung berlebihan seolah bisnis waralaba itu kebal krisis dan bebas risiko. Padahal tidak ada bisnis yang nol risiko dan kebal dari perubahan lingkungan yang dinamis. Janji indah yang membangun ekspektasi berlebihan bukan tanpa sebab.

Seperti cerita di awal tentang si pengusaha kopi susu, pewaralaba berkepentingan untuk menarik terwaralaba sebanyak-banyaknya demi pemenuhan target pertumbuhan dan tentu saja keuntungan berlimpah. Tinggal terwaralaba yang mesti berhati-hati menghadapi pewaralaba yang egois ini.

Maka ketika ekspektasi tak terpenuhi, terwaralaba kembali dihadapkan pada wajah sesungguhnya dari sebuah usaha. Kadang naik, kadang turun, atau jumpalitan tak menentu, bagai roller coaster kehidupan. Bisnis waralaba pun demikian. Membuka jalan untuk memulai usaha, namun jalannya tak selalu mulus dan rata.

Franky Selamat
Dosen Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi & Bisnis, Universitas Tarumanagara, Jakarta.

Fajar Hermawan
Mahasiswa Program Sarjana Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Tarumanagara, Jakarta.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com