Situasi industri penerbangan di Indonesia pun tak ubahnya dengan situasi industri penerbangan dunia.
Sebelum pandemi, tercatat ada 1.000 sampai 1.100 penerbangan dalam sehari di bandara Soekarno-Hatta. Belakangan, hanya terdapat 400 hingga 500 penerbangan.
Secara nasional, dalam kondisi normal, ada 5.000 hingga 6.000 penerbangan dalam sehari. Sekarang hanya 1.500 sampai 2.000 saja.
Sementara, lalu lintas udara di atas Indonesia atau over flying sebelum pandemi tercatat 300 sampai 400 penerbangan per hari. Sekarang hanya 50 hingga 75 penerbangan.
Penurunan yang sangat tajam pada lalu lintas udara secara nasional sangat berdampak pada eksistensi maskapai penerbangan.
Sekali lagi, maskapai penerbangan sebagai bisnis di tengah pademi sama sekali tidak menjanjikan keuntungan.
Di tengah situasi yang tidak menentu ini, ada sebuah pertanyaan besar: maskapai penerbangan Indonesia justru menjual tiket dengan harga murah lagi. Padahal, penumpang hanya dibatasi maksimal 70 persen dari kapasitas. Waktu yang akan menjawabnya gejala apa gerangan ini.
Namun kelihatannya, ini adalah cara dari maskapai untuk memperoleh dana kes demi modal survival. Dapat dipastikan hal ini tidak akan dapat berlangsung lama.
Gambaran dari semua itu membuktikan dengan terang benderang bahwa bisnis maskapai penerbangan ternyata sangat rentan dan sekaligus amat bergantung kepada peran besar pemerintah.
Kebutuhan kapital yang besar dengan nilai keuntungan yang sangat tipis dan rawan bangkrut seperti sekarang ini tidak bisa dihindari menempatkan maskapai penerbangan pada posisi yang teramat sulit.
Richard Branson founder dari Virgin Group yang antara lain mengelola Virgin Australia mengatakan dengan gamblang bahwa Virgin Atlantic membutuhkan bantuan pemerintah untuk kelangsungan hidupnya. Tanpa bantuan pemerintah, mustahil Virgin Atlantic dapat bertahan hidup.