Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Chappy Hakim
KSAU 2002-2005

Penulis buku "Tanah Air Udaraku Indonesia"

Kebangkrutan Maskapai Penerbangan di Ambang Mata

Kompas.com - 12/12/2020, 06:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

TAHUN lalu sebelum pandemi Covid-19 merebak, tercatat 4,5 miliar penumpang melakukan penerbangan.

Menurut catatan The Economist, majalah mingguan internasional terbitan Inggris, terdapat tidak kurang dari 100.000 penerbangan komersial berlangsung dalam satu hari.

Angka-angka itu menurun drastis begitu pademi melanda. Penurunannya tidak pernah terjadi dan bahkan tidak pernah diramalkan orang sebelumnya sepanjang sejarah.

Willie Walsh pimpinan IAG (International Airlines Group) mengatakan, maskapai penerbangan di Eropa telah turun kapasitasnya sebesar 75 persen belakangan ini. Tidak ada jaminan maskapai penerbangan Eropa akan sanggup bertahan dalam beberapa bulan ke depan.

Kajian CAPA (Centre for Asia-Pacific Aviation), lembaga konsultan dan analisis penerbangan yang berbasis di Sydney Australia, menjelaskan, tanpa bantuan yang diberikan pemerintah, lebih separuh dari 800 maskapai penerbangan di seluruh dunia akan mengalami kebangkrutan.

Kondisi ini lebih hebat dari dampak serangan teroris pada tragedi 911 di tahun 2001.

“Airlines around the world are facing the most severe crisis in aviation history. Some airlines have already collapsed, and some are on their way to bankruptcy,” demikian CAPA.

Di Amerika Serikat (AS), pengamat industri penerbangan Mike Boyd mengatakan, kucuran stimulus tunai dari pemerintah AS sebesar Rp 50 miliar dolar AS tidak akan cukup untuk dapat menyelamatkan industri penerbangan yang mengalami kerugian besar akibat Covid-19.

Era maskapai penerbangan sebagai sebuah bisnis yang menarik mungkin akan segera berakhir.

CAPA menyebut proyeksi keuntungan bisnis penerbangan di masa pandemi ini adalah yang terburuk sepanjang sejarah.

Sementara IATA (International Air Transport Association) mengatakan, “Aviaton needs incentives balanced with control measure.”

Beberapa analis bahkan mengatakan bahwa “Aviation world will experience setback more than 30 years.”

Mereka yang bangkrut

Sampai Oktober 2020 tercatat 43 airline yang sudah bangkrut, antara lain Thai Airways, Avianca, Air Mauritius, Virgin Australia, Flybe, City Jet, Atlas Global dan Air Italy.

Di Eropa, dari 740 bandara yang beroperasi sebanyak 193 di antaranya telah bangkrut dan tutup. Sementara, puluhan ribu tenaga kerja di industri penerbangan dunia tengah dalam proses pemutusan hubungan kerja.

Beberapa penyebab terpuruknya industri penerbangan adalah protokol kesehatan, pembatasan perjalanan karena kebijakan lockdown sejumlah kota dan negara, turunnya angka perjalanan wisatawan, pelambatan ekonomi, perilaku hidup baru dalam bentuk virtual seperti rapat, pertemuan, seminar, worshop, hingga konferensi internasional.

Dunia tengah berada dalam situasi sulit dan tidak menentu. Kalaupun masa sulit ini berhasil dilewati, wajah dunia pun akan berubah bentuk selamanya, termasuk wajah industri penerbangan.

 

Suasana Terminal 3 Bandara Internasional Soekarno-Hatta terpantau sepi penumpang di Tangerang, Banten, Kamis (9/7/2020). Meski penerbangan telah kembali dibuka dengan persyaratan  seperti penumpang harus dengan memiliki hasil rapid atau PCR test negatif COVID-19, suasana di Bandara Soekarno Hatta masih terpantau sepi.ANTARA FOTO/ADITYA PRADANA PUTRA Suasana Terminal 3 Bandara Internasional Soekarno-Hatta terpantau sepi penumpang di Tangerang, Banten, Kamis (9/7/2020). Meski penerbangan telah kembali dibuka dengan persyaratan seperti penumpang harus dengan memiliki hasil rapid atau PCR test negatif COVID-19, suasana di Bandara Soekarno Hatta masih terpantau sepi.

Situasi di Indonesia

Situasi industri penerbangan di Indonesia pun tak ubahnya dengan situasi industri penerbangan dunia.

Sebelum pandemi, tercatat ada 1.000 sampai 1.100 penerbangan dalam sehari di bandara Soekarno-Hatta. Belakangan, hanya terdapat 400 hingga 500 penerbangan.

Secara nasional, dalam kondisi normal, ada 5.000 hingga 6.000 penerbangan dalam sehari. Sekarang hanya 1.500 sampai 2.000 saja.

Sementara, lalu lintas udara di atas Indonesia atau over flying sebelum pandemi tercatat 300 sampai 400 penerbangan per hari. Sekarang hanya 50 hingga 75 penerbangan.

Penurunan yang sangat tajam pada lalu lintas udara secara nasional sangat berdampak pada eksistensi maskapai penerbangan.

Sekali lagi, maskapai penerbangan sebagai bisnis di tengah pademi sama sekali tidak menjanjikan keuntungan.

Di tengah situasi yang tidak menentu ini, ada sebuah pertanyaan besar: maskapai penerbangan Indonesia justru menjual tiket dengan harga murah lagi. Padahal, penumpang hanya dibatasi maksimal 70 persen dari kapasitas. Waktu yang akan menjawabnya gejala apa gerangan ini.

Namun kelihatannya, ini adalah cara dari maskapai untuk memperoleh dana kes demi modal survival. Dapat dipastikan hal ini tidak akan dapat berlangsung lama.

Butuh sinterklas

Gambaran dari semua itu membuktikan dengan terang benderang bahwa bisnis maskapai penerbangan ternyata sangat rentan dan sekaligus amat bergantung kepada peran besar pemerintah.

Kebutuhan kapital yang besar dengan nilai keuntungan yang sangat tipis dan rawan bangkrut seperti sekarang ini tidak bisa dihindari menempatkan maskapai penerbangan pada posisi yang teramat sulit.

Richard Branson founder dari Virgin Group yang antara lain mengelola Virgin Australia mengatakan dengan gamblang bahwa Virgin Atlantic membutuhkan bantuan pemerintah untuk kelangsungan hidupnya. Tanpa bantuan pemerintah, mustahil Virgin Atlantic dapat bertahan hidup.

 

Tangkapan layar pesawat maskapai penerbangan Garuda Indonesia menggunakan masker, Selasa (13/10/2020).dok. Instagram @garuda.indonesia Tangkapan layar pesawat maskapai penerbangan Garuda Indonesia menggunakan masker, Selasa (13/10/2020).

Maskapai penerbangan milik pemerintah mungkin tidak begitu sulit memperoleh dukungan dana talangan karena pemerintah memiliki kepentingan untuk mempertahankan eksistensinya.

Jaring perhubungan udara nasional sangat dibutuhkan bagi eksistensi negara yang merupakan urat nadi dari fungsi dukungan administrasi logistik sebagai bagian dari tata kelola mekanisme roda pemerintahan.

Seberapa besar dana yang harus dikeluarkan oleh pemerintah pasti akan tetap diupayakan karena jejaring perhubungan udara di samping sebagai andalan ujung tombak penggerak roda ekonomi juga berfungsi sebagai public service obligation, kewajiban pemerintah dalam memberikan pelayanan transportasi masyarakat.

Namun, tidak demikian halnya dengan maskapai penerbangan swasta. Tidak mungkin pemerintah memberikan dukungan dana yang besar tanpa jaminan keuntungan yang dapat dikembalikan.

Dalam ekologi perhubungan udara nasional, terutama pada wilayah Indonesia yang luas dan berbentuk kepulauan, penerbangan swasta memang harus berada pada posisi yang disebut sebagai complementary player, bukan the leading actor atau pemeran utama.

Kapan dan sampai berapa lama kira-kira dampak covid 19 terhadap penerbangan akan dapat pulih kembali?

Sulit memprediksinya dengan tepat. Yang pasti pemulihan apapun akan berlangsung lambat. Lepas dari sejauh mana pemerintah turun tangan, pemulihan akan sangat ditentukan oleh perkembangan virus dan pembuatan vaksin.

Ada pula faktor kebijakan yang berbeda di setiap negara terkait perjalanan lintas batas yang sudah pasti memengaruhi volume penerbangan internasional.

Faktor kepercayaan penumpang terhadap situasi keamanan juga mempunyai peran. Mereka harus memulihkan kepercayaan diri masing-masing untuk mau kembali melakukan perjalanan udara.

Para analis penerbangan melihat, tidak ada harapan jumlah penumpang akan pulih seperti 2019. Sulit pula meramalkan kapan situasi ini akan berlalu. Bisa jadi situasi ini akan berlangsung hingga 2025.

Tidak ada satu pun maskapai yang bisa bertahan dalam waktu dekat kecuali dapat dana talangan dari pemerintah atau investor siluman yang satu spesies dengan “Sinterklas”.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com