Kedua, kembalinya aliran dana asing ke pasar negara berkembang untuk mencari imbal hasil atau potensi pertumbuhan pada aset finansial negara berkembang di tengah rendahnya tingkat inflasi dan suku bunga bank sentral global.
Ketiga, tren pelemahan dollar AS juga masih akan berlanjut di 2021 karena kebijakan moneter dan fiskal AS yang tetap akomodatif.
Sementara itu fundamental Rupiah tetap baik dengan inflasi rendah, adanya ruang penurunan suku bunga, dan arus dana asing yang mulai kembali masuk sehingga meningkatkan daya tarik obligasi Indonesia walau yield sudah turun di 2020.
Keempat, permintaan investor lokal untuk obligasi diperkirakan akan tetap suportif di 2021, karena likuiditas pasar yang masih melimpah di tengah kebijakan fiskal dan moneter akomodatif, sementara pertumbuhan kredit masih relatif rendah.
Baca juga: Joe Biden Diramal Bakal Meredam Ketidakpastian Global di Tahun 2021, Apa Untungnya?
Selanjutnya, ketersediaan dan distribusi vaksin akan menjadi perhatian pasar yang dapat menjadi katalis bagi pasar, namun juga dapat menjadi faktor risiko.
“Kami memandang faktor-faktor tersebut merupakan faktor yang suportif bagi pasar obligasi Indonesia di 2021. Obligasi Indonesia masih menawarkan tingkat real yield yang menarik di antara negara berkembang lain,” jelas Ezra.
Sebagai gambaran, real yield obligasi 10-tahun Indonesia saat ini di kisaran 4,6 persen, sementara Filipina -0,5 persen dan India -1,7 persen, yang menjadikan daya tarik tinggi bagi obligasi Indonesia.
“Dengan dinamika global dan domestik tersebut kami memproyeksikan imbal hasil obligasi pemerintah 10-tahun dapat berpotensi turun ke level 5,5 – 6 persen di 2021, sehingga masih memberikan potensi upside bagi investasi di pasar obligasi,” tegas Ezra.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.