Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dradjad H Wibowo
Ekonom

Ekonom, Lektor Kepala Perbanas Institute, Ketua Pembina Sustainable Development Indonesia (SDI), Ketua Pendiri IFCC, dan Ketua Dewan Pakar PAN.

Pemulihan Ekonomi dan Vaksinasi: Indonesia di Persimpangan Jalan

Kompas.com - 29/12/2020, 16:49 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Hal ini berbeda dengan vaksin Pfizer/BioNTech. Laporan uji klinis fase ke-3 nya dipublikasikan di the New England Journal of Medicine (NJEM), jurnal kedokteran ternama, pada 10 Desember 2020.

Datanya pun disajikan secara transparan. Jumlah peserta uji klinis vaksin Pfizer/BioNTech tercatat 43.448 orang, dengan 21.720 orang divaksinasi dan 21.728 orang mendapat plasebo.

Dari 36.523 peserta yang tidak terinfeksi SARS-CoV-2, baik sebelum maupun pada saat vaksinasi, minimal tujuh hari setelah dosis kedua terdapat delapan orang penerima vaksin dan 162 orang yang mendapat plasebo diketahui positif Covid-19. Efikasinya 95 persen dengan 95% CI pada selang [90,3-97,6].

Untuk vaksin Moderna, terdapat 30.400 peserta uji klinis fase 3. Dalam analisis interimnya, mulai 14 hari setelah dosis kedua, dari 27.817 peserta terdapat lima kasus Covid-19 di kelompok penerima vaksin dan 90 di plasebo. Efikasinya 94,5 persen dengan 95% CI pada selang [86,5-97,8].

Masih banyak lagi prosedur, data, dan analisis yang dilaporkan oleh Pfizer/BioNTech dan Moderna, termasuk efikasi pada beberapa kondisi.

Poin saya adalah, CoronaVac perlu memenuhi standar ilmiah dan transparansi yang sama dengan kedua vaksin di atas. Bahkan, data mentah pun harus diserahkan karena otoritas seperti FDA akan mengeceknya.

Baca juga: Mengintip Progres Uji Klinis Vaksin Covid-19 di Indonesia

Pertanyaannya, kapankah hal ini bisa dipenuhi? Jika tidak, laporan uji klinisnya akan rendah kredibilitasnya.

Jangan lupa, risiko penerima vaksin terkena Covid-19 itu tetap ada meskipun kecil. Namun, di era medsos, berita tentang hal ini akan meledak dan bisa merusak kepercayaan terhadap vaksinasi.

Di sisi lain, jika standar ilmiah dan transparansi belum dipenuhi maka atas dasar apakah BPOM mengeluarkan Emergency Use Authorization (EUA)?

Indonesia memang memesan vaksin lain seperti Novavax. Namun, Novavax baru mulai uji klinis fase 3 pada 28 Desember 2020, melibatkan sekitar 30.000 relawan di AS dan Meksiko. Masih perlu beberapa bulan lagi untuk mengetahui hasilnya.

Rencana cadangan

Saya tidak ingin membahas kenapa kita memilih CoronaVac sebagai vaksin utama. Namun, mau tidak mau, Indonesia perlu punya “Rencana Cadangan”. Ini sebagai jaga-jaga jika Sinovac terlambat memenuhi standar ilmiah dan transparansi.

Jika ini terjadi, BPOM jangan memaksakan diri menerbitkan EUA. Pemerintah juga jangan intervensi politis ke BPOM. Karena, kesehatan dan nyawa rakyat yang jadi taruhannya, selain perekonomian.

Apa rencana cadangan itu? Walaupun sangat terlambat, tidak ada salahnya jika pemerintah melobby Pfizer dan Moderna.

Tidak usah beli banyak, cukup satu juta sampai dua juta juta dosis saja dulu untuk pengiriman segera. Syukur jika bisa mendapatkan lebih. Jika perlu, kita bayar lebih mahal. Pfizer Indonesia yang sudah berbisnis di sini sejak 1969 bisa diminta kerja samanya.

Saya tidak yakin apakah kita bisa membeli dari tangan kedua, yaitu Singapura. Mungkin saja Pfizer dan Moderna tidak mengizinkan re-ekspor.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com