Untuk itu, dampak PSBBnya seharusnya tidak seperti April Mei tahun lalu. Dan jika PSBB lebih ketat ini menjadi sentimen negatif, dampaknya juga terbatas ke beberapa hari saja.
BI Rate yang saat ini di level 3,75 persen juga menjadi pemicu dana pindah dari perbankan ke pasar modal. Sebab hasil perbankan yang semakin kecil menyebabkan kebutuhan atau simulasi yang dibuat perusahaan mungkin saja tidak terpenuhi sehingga untuk mencapai target return, mereka mencari instrumen lain. Bisa melalui saham, obligasi, atau reksa dana.
Faktor internal lain yang menjadi game changer pada tahun 2021 adalah Euforia Investor lokal. Pembukaan rekening saham pada tahun 2020 mencapai rekor dan masih terus berlanjut hingga 2021.
Jika sebelumnya transaksi saham didominasi investor asing, saat ini transaksi saham sudah didominasi investor lokal dengan rasio 70 – 80 persen.
Saat ini juga bermunculan influencer saham seperti Sangmologi, Mansurmologi, hingga artis yang posting dia punya saham apa. Entah kebetulan atau tidak, saham-saham yang di post melalui social media tersebut mengalami kenaikan setelahnya.
Baca juga: Jadi Andalan Kaesang, Seberapa Cuan Saham Antam?
Euforia investor lokal ini selanjutnya juga akan menjadi penahan jika terjadi penurunan pada bursa saham. Sebagai contoh misalkan IHSG sudah turun 3 hari berturut-turut, kemudian influencer ramai-ramai posting “Saatnya Serok Bawah…”, maka investor lokal berbondong-bondong akan beli dan menahan bahkan membuat IHSG positif.
Berdasarkan kondisi di atas, perkiraan nilai wajar IHSG di tahun 2021 adalah 6.700. Dengan penutupan tahun 2020 sebesar 5.979, maka diperkirakan reksa dana saham akan naik sekitar 12 persen pada tahun 2021.
Tentu saja proyeksi ini bisa salah jika terjadi hal yang di luar dugaan seperti kondisi COVID-19 yang memburuk dan tidak terkendali, kenaikan tingkat suku bunga secara agresif dari Bank Sentral dan sentimen lainnya yang muncul kemudian.
Bagi investor reksa dana, aspek kehati-hatian perlu selalu menjadi yang utama. Hati-hati terhadap potensi risiko pada sumber penghasilan utama (seperti pengurangan gaji / PHK) dan hati-hati juga dengan risiko koreksi pada pasar modal.
Untuk risiko penghasilan, dapat dilakukan dengan menyiapkan dana darurat. Idealnya antara 6 – 12 bulan pengeluaran. Tidak mudah memang, tapi mau tidak mau harus dipersiapkan. Bisa dilakukan melalui penghematan, bisa juga dengan menambah sumber penghasilan lain.
Untuk risiko harga, harus dipahami bahwa naik turunnya harga reksa dana (terutama pada reksa dana saham) adalah keniscayaan. Alias sudah pasti akan dialami selama kita menjadi investor.
Baca juga: Simak Cara Mudah Mengenali Ciri Investasi Bodong
Meskipun gambaran untuk reksa dana saham relatif baik, tapi ada baiknya investasi dilakukan dengan aset alokasi atau membagi-bagi ke dalam beberapa jenis.
Untuk Aanda yang agresif, bisa mempertimbangkan untuk 10 persen reksa dana pasar uang, 20 persen reksa dana pendapatan tetap, 30 persen reksa dana campuran dan 40 persen reksa dana saham.
Untuk yang konservatif, bisa 10 persen reksa dana pasar uang, 20% reksa dana saham, 30 persen reksa dana campuran dan 40 persen reksa dana pendapatan tetap.
Angkanya bisa disesuaikan sendiri sesuai profil risiko, tujuan investasi dan kondisi keuangan.
Demikian artikel ini, semoga bermanfaat
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.