Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Firdaus Putra, HC
Komite Eksekutif ICCI

Ketua Komite Eksekutif Indonesian Consortium for Cooperatives Innovation (ICCI), Sekretaris Umum Asosiasi Neo Koperasi Indonesia (ANKI) dan Pengurus Pusat Keluarga Alumni Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED)

Wonder Woman, WhatsApp, dan Koperasi

Kompas.com - 13/01/2021, 16:37 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Itu semua belum ditambah dengan rekam jejak Facebook yang beberapa kali mengalami kebocoran data. Kasus Cambridge Analytica tahun 2014 serta kasus tahun 2019 membuktikan rentannya data pengguna. Bila sekarang seluruh data pengguna yang jumlahnya dua milyar itu diserahkan ke Facebook, bisa dibayangkan seberapa besar big data yang mereka kuasai.

Bung Besar benar-benar bangkit lewat artificial intelligence dan machine learning dengan aparatus ilmuwan data. Mereka bekerja untuk melipatgandakan hegemoni bisnis korporasi yang dimiliki segelintir orang. Sekarang Bung Besar itu tak lagi alegoris, namun berwujud dalam rupa Bung Zuckerberg.

Nyatanya, Bung Besar itu bukan koperasi. Mereka, korporasi. Jadi meta-narasi Wonder Woman 1984 itu tak sahih. Yang sewenang-wenang, rakus dan tamak, ya korporasi seperti Omni Corp atau Oscorp Industries yang dibabat oleh Spiderman dan Robocop.

Tak sahih betul juga, sebab Black Gold Cooperative itu hanya dimiliki oleh Max Lord. Koperasi itu tak memiliki anggota. Barulah setelah Max Lord membuat harapan di depan Dream Stone, hari itu, berbondong-bondong orang mendatangi kantornya untuk berinvestasi. Jadi itu semacam praktik jahat investasi bodong berkedok koperasi, mirip seperti sebagian kasus di Indonesia.

Baca juga: Kebijakan Baru WhatsApp, Isi Chat dan Telepon di WA Jadi Bisa Diintip?

Data dan koperasi

Black gold era 1984 berupa ladang minyak. Sekarang emas hitam itu berupa data. Data yang sangat besar, big data. Siapa yang menguasai data, menang dalam percaturan. Juga sebaliknya. Hasilnya startup berlomba-lomba membangun model bisnis dengan infrastruktur teknologi yang dapat menyedot, mengumpulkan dan mengolah data.

Mari bayangkan data tiap individu sebagai aset. Masing-masing orang memiliki asetnya. Sayangnya untuk mengelola data yang banyak itu butuh modal tak sedikit. Juga secara statistik, hanya data dalam volume tertentu yang bisa diolah menjadi sesuatu. Jadi nampaknya kita perlu membangun platform gotong royong data, tak bisa sendirian.

Budiman Sujatmiko, Ketua Inovator 4.0 Indonesia, beberapa waktu terakhir getol bicara isu ini. Ia sebut sebagai trilogi kemandirian: berdata, berdaya, berdana. Itu sebabnya dia mulai membangun beberapa koperasi. Tujuan besarnya untuk membangun konsorsium data, di mana tiap individu dapat patungan data. Dalam pandangannya, data merupakan bagian dari Aset Asasi Universal (AAU) yang saban orang harus berdaulat dan kendalikan.

Itu langkah konkret yang bisa ditiru. Kita harus menawarkan proposal kepada masyarakat bagaimana mengonversi data mereka menjadi sumber daya. Dari yang potensial, menjadi aktual. Dari yang per individu, menjadi kelompok, komunitas, kolektif. Hanya dengan berkelompok, jumlah banyak, data itu bisa bernilai.

Saya pernah menulis soal perlunya kita membangun Koperasi Big Data. Tujuannya sama, agar kita memiliki kedaulatan atas data. Juga bagaimana membaca data sebagai "data as labor", yang mana kita harus memperoleh value terhadap setiap pengelolaan dan penggunaannya.
Fenomena Whatsapp menjadi momen berharga, bahwa masyarakat mulai sadar perihal datanya. Bila Whatsapp begitu, maka kita pindah ke yang lain. Signal dan Telegram dikabarkan kewalahan karena migrasi besar-besaran pengguna Whatsapp.

Baca juga: Tak Bisa Tunggu Bill Gates Bikin Koperasi Big Data

Demokratisasi messenger

Namun itu belum cukup. Migrasi hanyalah cara sementara, sangat mungkin Signal atau Telegram berubah pikiran. Jadi kita perlu membangun sebuah platform messenger mandiri, yang dimiliki oleh setiap penggunanya. Gagasannya sederhana, membangun koperasi messenger.

Orang sebut istilahnya sebagai platform cooperative. Yaitu platform atau perusahaan aplikasi yang dimiliki oleh penggunanya. Bila para pengguna ikut memiliki, lantas bagaimana nasib para founder serta jenius kreatif itu? Bukankah akan terjadi diktator mayoritas terhadap mereka?

Model kelembagaannya dibuat multi pihak (multi stakeholder cooperative). Founder serta para jenius kreatif, pencipta, berdiri sebagai satu pihak. Lalu engineer yang bekerja di dalamnya, satu pihak. Kemudian pengguna yang jumlahnya jutaan orang juga satu pihak. Bila mau diikutsertakan, investor juga berdiri sebagai pihak yang berbeda.

Sedikitnya ada empat pihak yang bisa dikolaborasi dalam koperasi messenger itu. Dalam mengambil keputusan mekanismenya proportional voting, bukan one man, one vote. Secara alamiah masing-masing pihak akan mengagregasi kepentingannya.

Di sinilah check and balance sebagai pilar dasar demokrasi bekerja. Saya pernah menulis khusus soal ini pada kolom sebelumnya "Perlu Diskresi untuk Koperasi Multipihak".

Dengan cara begitu, Bung Besar, bisa "dibunuh". Hasrat untuk menguasai, mengeksploitasi dan memonopoli bisa dianulir. Caranya, demokratiskan aplikasi messenger. Sebaliknya, di mana messenger masih dimiliki oleh korporasi swasta dan perseorangan, Bung Besar bisa sewaktu-waktu bangkit.

Baca juga: Perlu Diskresi untuk Koperasi Multipihak

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Suku Bunga Acuan Naik Jadi 6,25 Persen, Bos BI: Untuk Memperkuat Stabilitas Rupiah

Suku Bunga Acuan Naik Jadi 6,25 Persen, Bos BI: Untuk Memperkuat Stabilitas Rupiah

Whats New
KEJU Bakal Tebar Dividen, Ini Besarannya

KEJU Bakal Tebar Dividen, Ini Besarannya

Earn Smart
Program Gas Murah Dinilai ‘Jadi Beban’ Pemerintah di Tengah Konflik Geopolitik

Program Gas Murah Dinilai ‘Jadi Beban’ Pemerintah di Tengah Konflik Geopolitik

Whats New
Catatkan Kinerja Positif, Rukun Raharja Bukukan Laba Bersih 8 Juta Dollar AS pada Kuartal I-2024

Catatkan Kinerja Positif, Rukun Raharja Bukukan Laba Bersih 8 Juta Dollar AS pada Kuartal I-2024

Whats New
Luhut Sambangi PM Singapura, Bahas Kerja Sama Carbon Capture Storage dan Blue Food

Luhut Sambangi PM Singapura, Bahas Kerja Sama Carbon Capture Storage dan Blue Food

Whats New
Honda Prospect Motor Buka Lowongan Kerja, Cek Posisi dan Syaratnya

Honda Prospect Motor Buka Lowongan Kerja, Cek Posisi dan Syaratnya

Work Smart
Tahun Pertama Kepemimpinan Prabowo, Rasio Utang Pemerintah Ditarget Naik hingga 40 Persen

Tahun Pertama Kepemimpinan Prabowo, Rasio Utang Pemerintah Ditarget Naik hingga 40 Persen

Whats New
Revisi Aturan Impor Barang Bawaan dari Luar Negeri Bakal Selesai Pekan Ini

Revisi Aturan Impor Barang Bawaan dari Luar Negeri Bakal Selesai Pekan Ini

Whats New
Pacu Kontribusi Ekspor, Kemenperin Boyong 12 Industri Alsintan ke Maroko

Pacu Kontribusi Ekspor, Kemenperin Boyong 12 Industri Alsintan ke Maroko

Whats New
Uji Coba Bandara VVIP IKN Akan Dilakukan pada Juli 2024

Uji Coba Bandara VVIP IKN Akan Dilakukan pada Juli 2024

Whats New
Menteri Basuki Bakal Pindah ke IKN Juli 2024 dengan 2 Menteri Lain

Menteri Basuki Bakal Pindah ke IKN Juli 2024 dengan 2 Menteri Lain

Whats New
Harga Emas Dunia Stabil di Tengah Meredanya Konflik Timur Tengah

Harga Emas Dunia Stabil di Tengah Meredanya Konflik Timur Tengah

Whats New
Pemerintah Susun Rancangan Aturan Dana Abadi Pariwisata, untuk Apa?

Pemerintah Susun Rancangan Aturan Dana Abadi Pariwisata, untuk Apa?

Whats New
Soal Wajib Sertifikat Halal di Oktober, Kemenkop-UKM Minta Kemenag Permudah Layanan untuk UMKM

Soal Wajib Sertifikat Halal di Oktober, Kemenkop-UKM Minta Kemenag Permudah Layanan untuk UMKM

Whats New
Google Kembali Pecat Karyawan yang Protes Kerja Sama dengan Israel

Google Kembali Pecat Karyawan yang Protes Kerja Sama dengan Israel

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com