Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kronologi Larangan Ekspor Bijih Nikel yang Berujung Gugatan Uni Eropa

Kompas.com - 18/01/2021, 17:01 WIB
Muhammad Idris

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Uni Eropa menyatakan bakal melanjutkan sengketa atas kebijakan larangan ekspor bijih nikel yang dikeluarkan pemerintah Indonesia. Kini Uni Eropa mendesak Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) untuk membentuk panel guna membahas sengketa tersebut (Uni Eropa gugat RI soal nikel).

Pemerintah Indonesia lewat Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi mengatakan, Indonesia siap menghadapi gugatan Uni Eropa atas kebijakan larangan ekspor bijih nikel yang ditetapkan.

Menurut Lutfi, Indonesia baru mendapatkan notifikasi bahwa Uni Eropa tetap akan melanjutkan proses sengketa ke WTO yang jadi wasit perdagangan antar-negara itu.

"Tentunya kami sangat kecewa bahwa sudah ada konsultasi yang begitu lama. Tetapi ini bagian dari pada interaksi kita dengan dunia internasional, kita akan layani dan jalankan tuntutan tersebut," ujar Lutfi dalam keterangannya dikutip pada Senin (18/1/2021).

Baca juga: Selain Kendaran Listrik, Ini Pendongkrak Melejitnya Harga Nikel

Kronologi gugatan Uni Eropa bermula dari keberatan negara-negara Eropa atas larangan ekspor nikel mentah atau bijih nikel yang berlaku per 1 Januari 2020, meski kemudian pemerintah melakukan relaksasi.

Ini tertuang dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM nomor 11 tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara.

Uni Eropa gerah dengan kebijakan larangan ekspor biji nikel. Kebijakan pembatasan impor biji mentah nikel ini dinilai tidak adil dan berimbas negatif pada industri baja Eropa karena terbatasnya akses terhadap bijih nikel dan juga bijih mineral lainnya seperti bijih besi dan kromium.

RI produsen nikel terbesar kedua di dunia

Sebagai informasi, Indonesia saat ini tercatat sebagai eksportir nikel terbesar kedua untuk industri baja negara-negara Uni Eropa. Itu sebabnya, banyak industri logam di Eropa sangat bergantung pada bahan mentah dari Indonesia.

Baca juga: Uni Eropa, Gigih Tolak Sawit Indonesia, Tapi Butuh Nikelnya

Pada penghujung tahun 2020, Komisioner Perdagangan UE Cecilia Malmstrom, mengeluarkan pernyataan yang menyebut langkah Indonesia menyetop ekspor bijih nikel membuat industri baja di Eropa dalam ancaman besar.

"Terlepas dari usaha yang kami lakukan, Indonesia tetap tidak beranjak dari langkahnya dan mengumumkan larangan ekspor pada Januari 2020," kata Malmstrom.

Indonesia merupakan salah satu produsen dan eksportir nikel terbesar dunia yang menguasai sekitar 27 persen pasar global.

Kendati demikian, Indonesia selama puluhan tahun hanya mengekspor nikel mentah. Negara produsen nikel lainnya yakni Amerika Serikat, Australia, Bolivia, Brasil, China, dan beberapa negara Afrika.

Baca juga: Uni Eropa Gugat RI soal Nikel, Terselip Kekecewaan Mendag

Melansir pemberitaan Harian Kompas, 18 November 2019, Ekonom PT Bank UOB Indonesia Enrico Tanuwidjaja, memaparkan bahwa nikel adalah mineral yang sangat berharga di masa depan karena pesatnya perkembangan kendaraan listrik.

Nikel adalah salah satu logam terbesar dalam pembuatan baterai listrik. Lithium-ion ibarat jantung dari revolusi mobil listrik.

Kandungan baterai lithium-ion itu, terdiri dari anoda, katoda, dan elektrolit. Nikel merupakan komponen logam yang dominan dalam komposisi baterai listrik, khususnya katoda.

"Selama dua dekade terakhir, produsen telah berupaya meningkatkan kadar nikel dalam komponen bahan baku utama baterai mobil listrik, mengingat harga nikel relatif lebih murah," kata Enrico.

Baca juga: RI Siap Hadapi Gugatan Uni Eropa soal Larangan Ekspor Nikel

Bahkan dengan teknologi baterai lithium-ion yang semakin berkembang seiring pesatnya pertumbuhan kendaraan listrik, kandungan nikel diprediksi akan semakin besar karena memiliki penyimpanan daya yang lebih baik.

Peningkatan kandungan nikel dalam komposisi baterai akan meningkatkan kepadatan energinya sehingga mobil listrik akan memiliki kemampuan jarak tempuh yang lebih jauh.

Bagi Indonesia, nikel merupakan komoditas mineral yang sangat strategi di pasar dunia bersama timah dan batubara.

Dengan mengolah bijih nikel di peleburan dan pemurnian (smelter) di dalam negeri, Indonesia bisa mendapatkan keuntungan yang jauh berlipat ketimbang mengapalkan bijih nikel yang masih berupa 'tanah'.

Baca juga: Buruh Smelter Nikel di Konawe Tuntut Upah Naik dan Status Pekerjaan, Ini Penjelasan Menaker

Dengan mengolah bijih nikel menjadi feronikel, misalnya, harganya dapat meningkat dari 55 dollar AS per ton menjadi 232 dollar AS per ton, atau memberikan nilai tambah sekitar 400 persen.

Nilai ekspor bijih nikel Indonesia ke Uni Eropa mengalami peningkatan tajam dalam beberapa tahun terakhir. Tercatat, ekspor bijih nikel Indonesia naik signifikan sebesar 18 persen pada kuartal kedua 2019 dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2017.

Yang unik, China meskipun memiliki cadangan nikel yang besar, selama puluhan tahun lebih banyak mengimpor bijih nikel dari Indonesia dan negara produsen lain.

Negeri Panda menyerap lebih dari 50 persen produksi nikel dunia untuk kebutuhan industrinya. Sementara itu, setelah rencana larangan ekspor bijih nikel, China bersikap lebih kooperatif dibandingkan Uni Eropa.

Negara ini jauh-jauh hari sudah mengamankan pasokan feronikel, salah satu hasil pemurnian bijih nikel, dengan menanam banyak modal untuk pembangunan smelter di Indonesia.

Baik Eropa maupun China, sejak beberapa tahun terakhir gencar membangun industri kendaraan berbasis listrik yang lebih ramah lingkungan.

Baca juga: Pabrik Smelter Nikel di Konawe Dibakar Buruh, Menperin Dorong Penyelesaian dengan Dialog

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com