JAKARTA, KOMPAS.com - Head of Research Data Indonesia Herry Gunawan mengatakan, kebijakan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati terkait pengenaan pajak terhadap penjualan pulsa hingga token listrik ini ada kemungkinan besar distributor akan bebankan ke pengecer.
Kemudian, pengecer juga akan membebankan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tersebut ke konsumen.
Selain soal kenaikan harga di level konsumen, Herry juga menyoroti soal ketimpangan perpajakan yang diakibatkan kebijakan tersebut.
Baca juga: Pemerintah Tunjuk eBay dan NordVPN Jadi Pemungut PPN mulai 1 Februari
Ia mempertanyakan mengapa para pemain pasar uang di dalam negeri yang kaya raya tidak dipajaki, sedangkan rakyat kecil pembeli pulsa dipajaki.
“Kebijakan seperti itu kontraproduktif. Sementara pembeli global bond bebas pajak alias dapat subsidi pemerintah. Ketimpangan yang nyata. Kencang ke bawah, lunak ke atas,” kata Herry melalui keterangan tertulis, Selasa (2/2/2021).
Sementara itu, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan menilai, pengenaan PPN pulsa dan kartu perdana yang diperkuat dengan Peraturan Menteri Keuangan PMK No 6/PMK.03/2021 masih absurd.
"Pertama, di dalam PMK tidak terdapat rujukan peraturan lama yang perlu disederhanakan sehingga masyarakat menanggapinya sebagai pajak baru. Untuk itu, mohon Menteri Keuangan yang terhormat berkenan memberi peraturan lama sebagai bahan sosialisasi kepada sekelompok masyarakat yang berkepentingan," kata Anthony.
Kedua, karena tidak ada rujukan peraturan lama, pasal 2 menyiratkan pulsa dan kartu perdana, fisik maupun elektronik dikenai PPN yang berlaku per 1 Februari 2021, sebagai pajak baru.
Baca juga: Ditjen Pajak Tunjuk Enam Perusahaan Digital untuk Pungut PPN 10 Persen
Selain itu, Anthony menyoroti Pasal 4 pada Ayat 1 dan 2 yang membahas pungutan dan pengenaan PPN.
Menurut dia, pungutan dan pengenaan PPN merupakan dua hal berbeda.
Sebab, sejatinya pulsa dan kartu perdana bukan barang kena pajak.
Alasannya, pulsa dan kartu perdana bukan merupakan barang konsumsi tetapi hanya sebagai sarana penyimpan uang dengan nilai tertentu yang dapat dibelanjakan untuk melakukan panggilan telpon atau data (internet), setelah dompet tersebut diaktifkan.
Sedangkan kartu perdana yang berisi nomor telepon adalah sarana untuk melakukan pemanggilan telepon atau akses data (internet).
"Adapun barang konsumsi atau barang kena pajak yang sebenarnya adalah pemakaian telepon (pulsa) dan data (internet) atau singkatnya jasa telekomunikasi. Artinya, barang kena pajak yang dimaksud adalah pulsa yang dipotong oleh penyelenggara telekomunikasi seperti Telkom, Telkomsel, dan lainnya," jelas Anthony.
Baca juga: Berlaku Hari Ini, Pajak Pulsa untuk Distributor Besar, Bukan Pengecer dan Konsumen
Anthony menambahkan, ketika pulsa diserahkan kepada pelanggan yang terjadi adalah perpindahan penyimpanan uang dari kas atau bank pelanggan ke bentuk kartu pulsa.