Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Begini Cara Kerja Buzzer dan Kisaran Gajinya

Kompas.com - 12/02/2021, 15:30 WIB
Muhammad Choirul Anwar,
Bambang P. Jatmiko

Tim Redaksi


KOMPAS.com – Penggunaan buzzer untuk tujuan tertentu semakin marak dan kerap mengundang perdebatan.

Ternyata, ada riset khusus mengenai buzzer yang pernah diterbitkan University of Oxford pada tahun 2019 lalu. Penelitian ini berjudul “The Global Disinformation Order 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation”.

Dalam penelitian itu, buzzer disebut sebagai pasukan siber, yakni instrumen pemerintah atau aktor partai politik yang bertugas memanipulasi opini publik secara online.

Penelitian ini secara komparatif memeriksa organisasi formal pasukan siber di seluruh dunia dan bagaimana para aktor ini menggunakan propaganda komputasi untuk tujuan politik.

Dalam laporan tersebut, pihaknya memeriksa aktivitas pasukan dunia maya di 70 negara, termasuk Indonesia.

Baca juga: Beli Mobil Baru Bebas Pajak, Ini Respons Pengusaha

Temuan dari penelitian ini menunjukkan adanya variasi di berbagai negara mengenai skala dan rentang waktu pemanfaatan tim buzzer. Di beberapa negara, tim muncul untuk sementara waktu di sekitar pemilihan atau untuk membentuk sikap publik seputar acara politik penting lainnya.

Lakukan Kontrol

Di sisi lain, ada buzzer yang diintegrasikan ke dalam lanskap media dan komunikasi dengan staf bekerja penuh waktu. Mereka bekerja untuk mengontrol, menyensor, dan membentuk percakapan dan informasi online. Beberapa tim terdiri dari beberapa orang yang mengelola ratusan akun palsu.

“Di negara lain - seperti China, Vietnam, atau Venezuela - tim besar orang dipekerjakan oleh negara untuk secara aktif membentuk opini publik,” tulis laporan ini dikutip Jumat (12/2/2021).

Buzzer ini menggunakan berbagai strategi komunikasi. Penelitian ini mengkategorikan kegiatan buzzer ke dalam empat kategori. Pertama, penciptaan disinformasi atau media yang dimanipulasi. Kedua, pelaporan konten atau akun secara massal.

Ketiga, strategi berbasis data. Keempat, trolling, doxing atau gangguan. Kelima, memperkuat konten dan media online.

Penciptaan disinformasi atau media yang dimanipulasi adalah strategi komunikasi yang paling umum. Di 52 dari 70 negara yang diperiksa, pasukan siber secara aktif membuat konten seperti meme, video, situs web berita palsu, atau media yang dimanipulasi untuk menyesatkan pengguna.

“Terkadang, konten yang dibuat oleh pasukan siber ditargetkan pada komunitas atau segmen pengguna tertentu. Dengan menggunakan sumber data online dan offline tentang pengguna, dan membayar iklan di platform media sosial populer, beberapa pasukan siber menargetkan komunitas tertentu dengan disinformasi atau media yang dimanipulasi,” lanjutnya.

Adapun, penggunaan trolling, doxing, atau pelecehan merupakan tantangan dan ancaman global yang berkembang terhadap hak asasi manusia. Terdapat 47 negara telah menggunakan trolling sebagai bagian dari senjata digital mereka.

Baca juga: BEI: 3 Perusahaan Teknologi Bakal IPO di Kuartal I

Pasukan dunia maya juga menyensor ucapan dan ekspresi melalui pelaporan konten atau akun secara massal. Kiriman dari aktivis, pembangkang politik, atau jurnalis sering kali dilaporkan oleh jaringan terkoordinasi dari akun pasukan siber untuk mempermainkan sistem otomatis yang digunakan perusahaan media sosial untuk menghapus konten yang tidak pantas,” jelasnya.

Trolling dan penghapusan akun atau postingan bahkan dapat terjadi bersamaan dengan kekerasan dunia nyata, yang dapat memiliki efek yang dalam dan mengerikan pada ekspresi hak asasi manusia.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com