Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ini Cerita Kepala BKPM soal Aturan Investasi Miras hingga Akhirnya Dicabut Jokowi

Kompas.com - 03/03/2021, 11:15 WIB
Yohana Artha Uly,
Bambang P. Jatmiko

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengungkapkan proses panjang dalam pembuatan aturan mengenai pembukaan investasi industri minuman keras (miras), hingga akhirnya aturan itu dicabut oleh pemerintah setelah menuai polemik.

Diketahui dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal, sempat dinyatakan investasi pada industri minuman alkohol dibuka bagi investor dalam negeri dan asing. Tertuang dalam lampiran III poin 31, 32, dan 33 pada beleid tersebut.

Bahlil menjelaskan, aturan itu disusun atas dasar masukan dari pemerintah daerah dan masyarakat di sejumlah wilayah yang memang akrab dengan minuman beralkohol. Sebab, beberapa wilayah Indonesia memang memiliki miras sebagai kearifan lokal.

Baca juga: Menkop Nilai Masih Ada Disparitas Tinggi antara Pelaku UMKM dan Usaha Besar

"Karena memang di daerah itu ada kearifan lokal. Jadi dasar pertimbangnnya, masukan dari pemerintah daerah dan masyarakat setempat terhadap kearifan lokal," ujarnya dalam konferensi pers virtual, Selasa (2/3/2021).

Adapun dalam Perpres 10/2021 disebutkan, keran investasi miras dibuka hanya untuk Provinsi Bali, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Provinsi Sulawesi Utara, dan Provinsi Papua.

Mengenai kearifan lokal, Bahlil mencontohkan, di NTT terdapat minuman arak tradisional bernama sophia atau sopi. Begitu pula di Bali dengan arak lokalnya yang bahkan berkualitas ekspor.

Masyarakat setempat pun hanya memproduksi arak lokal secara kecil-kecilan, sehingga tak bisa menikmati nilai ekonomi dari produk tersebut.

Hal itu karena terbentur dengan aturan bahwa industri miras masuk bidang usaha tertutup untuk penanaman modal, sehingga tidak bisa menjadi besar dan potensinya pun tak bisa dimanfaatkan oleh masyarakat di daerah tersebut.

"Itu akan ekonomis jika dibangun berbentuk industri, tapi jika dibangun sedikit-sedikit (kecil-kecilan), apalagi dilarang maka enggak ada nilai ekonominya. Itulah kenapa dikatakan (dalam Perpres 10/2021) bahwa memperhatikan budaya dan kearifan setempat," jelas Bahlil.

Perdebatan dengan tokoh masyarakat

Selain mempertimbangkan kearifan lokal, lanjut dia, penyusunan aturan juga dilakukan melalui perdebatan panjang dan berdasarkan diskusi komprehensif dengan memperhatikan pelaku usaha dan pemikiran tokoh-tokoh agama, masyarakat, serta pemuda.

Meski demikian, ketika kebijakan tersebut diterbitkan malah menuai polemik sehingga Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun memutuskan mencabut aturan investasi miras dari lampiran III dalam Perpres 10/2021.

Baca juga: Luhut Sindir Pejabat yang Enggan Gunakan Produk Dalam Negeri

Menurut Bahlil, keputusan itu diambil setelah pemerintah mendengar aspirasi dari para tokoh lintas agama. Selain itu, dengan memperhatikan dinamika apsirasi dalam konteks untuk kebaikan dan tatanan sosial masyarakat.

Ia mengakui, terdapat kalangan pengusaha yang menginginkan agar kebijakan pembukaan investasi miras tetap dilanjutkan. Namun, atas pertimbangan berbagai kalangan yang menolak dengan masukan yang cukup konstruktif maka pemerintah menegaskan tetap menutup pintu investasi miras.

"Saya memahami kepada teman-teman dunia usaha yang menginginkan agar ini tetap dilanjutkan. tapi kita harus bijak melihat mana kepentingan negara yang lebih besar. Apalagi, kita semua umat beragama dan sudah tentu tahu ajaran kita untuk kebaikan," ungkapnya.

Izin pembangunan industri miras sudah ada sejak lama

Bahlil menyatakan, izin investasi miras di Indonesia bukan hal baru karena sudah ada sejak 1931. Total kini ada 109 izin yang dikeluarkan pemerintah untuk pembangunan industri miras yang tersebar di 13 provinsi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com