Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ferdy Hasiman
Peneliti

Peneliti di Alpha Research Database. Menulis Buku Freeport: Bisnis Orang Kuat Vs Kedaulatan Negara, Gramedia 2019. dan Monster Tambang, JPIC-OFM 2013.

Vale dan Visi Industri Tambang

Kompas.com - 05/03/2021, 10:45 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DALAM pikiran kebanyakan publik di tanah air, yang namanya Trans National Corporation (TNCs) di sektor tambang, seperti PT Vale Indonesia (INCO) atau PT Freeport Indonesia itu pasti buruk. Alasannya jelas, karena cenderung monopoli, orentasinya mencari profit dan eksploitatif.

Lebih dari itu, keberadaan perusahaan asing tak sesuai dengan amanat konstitusi UUD 1945 yang mengatakan pertambangan strategis harus dikontrol negara melalui perusahaan-perusahaan BUMN.

Namun, ketika dicermati lebih dekat, tak ada monopoli jika negara memiliki regulasi yang bisa menjinakkan mereka. Banyak perusahaan-perusahaan asing taat aturan dan memiliki best practice mining yang perlu menjadi referensi.

Dalam tulisan ini, saya mencoba mengangkat PT Vale Indonesia Tbk (Vale) sebagai contoh. Vale adalah perusahaan asing yang pemegang sahamnya adalah pemain global, Vale Canada Limited (44,3 persen), Sumitomo Metal Mining (15 persen) dan perusahaan tambang BUMN, MIND ID (20 persen).

Sejak beroperasi di Indonesia tahun 1970-an Vale berpijak pada payung hukum Kontrak Karya (KK) yang dibuat jaman Orde Baru.

Berdasarkan KK, konsesi nikel yang diberikan pemerintah Soeharto hampir mencapai 6,6 juta hektar merentang dari Sorowako (Sulawesi Selatan), Bahodopi (Sulawesi Tengah) sampai Pomala (Sulawesi Tenggara).

Hanya saja, konsesi yang terpakai baru seluas 118.000 hektar. Dengan perubahan rezim tambang dari KK ke Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang diatur dalam UU No 3/2020 tentang Mineral dan Batubara, Vale wajib menciutkan lahan.

Vale sendiri sudah sepakat menciutkan lahannya menjadi 70.000 hektar, termasuk mendivestasikan 20 persen saham ke MIND ID.

Singkat cerita, garansi yang diberikan negara zaman Orde Baru memungkinkan korporasi melakukan monopoli atas lahan. Toh setelah pemerintah mengubah aturan ke arah yang lebih tegas, seperti dalam UU Minerba, perusahaan-perusahaan tambang asing seperti Vale tak keberatan menciutkan lahannya.

Pertanyaan selanjutnya adalah apakah korporasi asing seperti Vale tak memiliki visi tentang industri pertambangan atau cenderung eksploitatif?

Bangun smelter sejak lama

Jawaban atas pertanyaan itu tentu tak boleh berdasarkan asumsi bahwa semua korporasi asing merusak. Perlu pendalaman yang teliti dan melihat perjalan korporasi itu secara lebih cermat.

Variable-variabel yang bisa dipakai misalnya, bagaimana pengolahan lingkungan, pemberdayaan masyarakat (comunity development), tata kelolah perusahaan yang baik (good corporate governence), penerimaan negara dan visi membangun industri pertambangan di tanah air.

Visi membangun industri tambang ini terkait erat dengan perubahan paradigma tambang dari eksploitatif (mengeruk bahan tambang sampai habis dan menjual dalam bentuk mentah dengan harga rendah) menuju pembangunan pabrik pengolahan bahan mineral nikel (smelter) dalam negeri agar memberikan multiplier effect bagi pembangunan nasional.

Tanpa perintah UU pertambangan pun, korporasi yang memperhatikan masa depan industri tambang harus membangun smelter sejak mulai beroperasi. Di sinilah pentingnya kita menjadikan Vale sebagai model.

Sebelum ada perintah UU Minerba (UU No 4/2009 yang direvisi menjadi UU No 3/2020), Vale sudah lama membangun smelter nikel di Sorowako, Sulawesi Selatan dengan kapasitas produksi 72.000 matrik ton per tahun.

Harganya tentu hampir belasan kali lipat dari perusahaan tambang yang hanya mengekspor bijih nikel mentah ke luar negeri. Penjualan nikel mentah sama sekali tidak memperhatikan good mining practices; merusak alam dan eksploitatif.

Risiko menjual bijih nikel mentah membuat mineral tambang kita dikeruk sampai habis. Sebelum pemberlakuan UU Minerba, ekspor bijih nikel selalu berada di atas 40 juta ton per tahun.

Indonesia menjadi net eksportir nikel terbesar dunia yang membuat nikel di pasar global banjir dan harga menjadi jatuh.

Sepanjang tahun 2010-2014, kita menyaksikan sendiri berton-ton bijih mentah diangkut tanpa pengawasan ke belasan kapal berbendera asing yang bertaburan tak jauh dari pelabuhan di berbagai titik di Sulawesi bagian tengah dan tenggara. Kita tentu miris melihat pengiriman “tanah” tersebut dilakukan siang-malam tanpa henti.

Jika terus-menerus begitu, tak menunggu lama, cadangan nikel kita habis. Padahal, dunia sekarang sedang mendorong pengembangan mobil listrik yang bahan bakunya dari nikel.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com