Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

[TREN HUMANIORA KOMPASIANA] Pilih Mana, Mengeluh atau Bersyukur? | Ragam Pesan dari Selembar Tenun Flores

Kompas.com - 18/03/2021, 16:00 WIB
Harry Rhamdhani

Penulis

KOMPASIANA---Terkadang ketika hidup dalam kondisi sebagaimana tidak sesuai keinginan, kita kerap mengeluh ketimbang bersyukur.

Memang, mengeluh ini adalah respons yang wajar. Namun terlalu sering mengeluh apalagi berlarut-larut bisa menyebabkan hal-hal negatif dalam diri.

Misalnya, kita selalu memiliki pandangan negatif terhadap apapun yang menimpa kita. Lain lagi kita juga jadi cenderung menjadi takut untuk melangkah mencoba sesuatu yang baru.

Namun, bedanya bila selalu bersyukur kita menjadi lebih bijaksana menyikapi segala permasalahan hidup.

Selain mengenai hal tersebut, ada juga tentang eksotisnya selembar tenun dari Flores dan seputar lingkaran kudeta elite di Asia Tenggara masa lampau

Berikut 3 konten menarik dan populer kategori Humaniora di Kompasiana:

1. Pilih Mana, Mengeluh atau Bersyukur? Begini Hasil Akhirnya!

Segala hal yang dilakukan secara terus-menerus akan menjadi kebiasaan, termasuk mengeluh.

Seseorang yang kerap mengeluh kerap kali tidak menyadari bahwa apa yang dikeluhkan itu sangat berpengaruh terhadap kehidupannya.

Kompasianer I Ketut Suweca mengatakan, jika pikiran terdiri dari seabreg keluhan yang ada hanyalah ketiadaan harapan dan semuanya menjadi serba suram.

Ia mencoba menjelaskan ada beberapa dampak buruk bagi seorang sering mengeluh. Misalnya, orang yang lebih banyak melihat hal yang kurang atau negatif pada dirinya sendiri atau orang lain membuat pandangan orang tersebut menjadi sempit.

Berbeda dengan seorang yang selalu merasa bersyukur. (Baca selengkapnya)

2. Eksotisme dan Ragam Pesan dari Selembar Tenun Flores

Keterampilan dan seni masyarakat Flores memang luar biasa, terutama terkait menenun sarung, baik itu kain sarung untuk pria maupun wanita. Setidaknya demikian yang dikatakan Kompasianer Inosensius Sigaze.

Namun tahukah kalau penenun di Flores hanya boleh dilakukan oleh orang-orang yang berasal dari dataran atau pesisir saja.

Inosensius mengatakan, berdasarkan pernyataan tokoh adat setempat, menenun itu adalah suatu mata pencaharian yang tidak pernah berakar pada tradisi kehidupan orang di pegunungan, yang semuanya mempunyai mata pencaharian sebagai petani dan mengerjakan ladang, atau menanam tanaman umur panjang.

"Hukum adat yang tidak tertulis itu mesti tetap dihormati dan dipatuhi. Sebab ada dampaknya jika ada yang melanggar, yang mana nantinya seniman akan mengalami sakit-sakitan," tulis Kompasianer Inosensius Sigaze. (Baca selengkapnya)

3. Lingkaran Kudeta Elite di Asia Tenggara Masa Lampau

Kompasianer Christoper Reinhart dalam tulisannya berjudul Lingkaran Kudeta Elite di Asia Tenggara Masa Lampau di Kompasiana, Rabu (17/3/2020), kegaduhan seputar perebutan kekuasaan di Indonesia maupun Myanmar sudah menjadi model yang seringkali terjadi di Asia Tenggara sejak masa pramodern.

Lebih jauh lagi, dikatakannya, hal seperti itu sudah bisa ditilik sejak masa transisi dari periode klasik ke periode Islam melalui perebutan kekuasaan pada masa akhir Majapahit

Menurutnya, Indonesia sendiri telah mengalami berbagai perebutan kekuasaan dan kudeta di seputar elite ini. Ketika pergerakan kebangsaan muncul pada awal abad ke-20 dan akhirnya berhasil menjadi pengganti dari golongan kolonial Eropa dan Jepang sebagai administrator negara, kita sekali lagi menyaksikan pola kekuasaan sentralistik.

"Dengan demikian, kita dapat sekali lagi bertanya, apakah akan ada perubahan mendasar yang terjadi di dalam tubuh Partai Demokrat atau entitas-entitas politik lain ketika perebutan kekuasaan atau kudeta itu selalu terjadi di dalam lingkaran elite?" tulisnya. (Baca selengkapnya) (IBS)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com