Namun demikian, di tengah kenaikan harga batu bara, perseroan cukup sulit untuk menaikkan harga jual. Ini lantaran penjualan produk yang masih terhambat karena siklus hujan.
Padahal komponen batu bara merupakan komponen penggunaan terbesar yakni 40-45 persen dalam pengolahan.
“Harga batu bara lagi naik, dan kita beli dalam dollar AS ini membuat biaya produksi naik. Karena semen itu industri di pasar bebas dengan persaingan ketat, sementara kuenya mengecil karena musim hujan dan banjir jadi penjualan drop,” jelas dia.
Dia bilang, selaku produsen tentunya kenaikan harga batu bara bisa disesuaikan dengan harga jual. Namun, perseroan melihat tidak adanya peluang untuk menaikkan harga dalam beberapa bulan keedpan, selain karena faktor cuaca, pembangunan infrastruktur juga belum menggeliat.
Pada 2021, perseroan mulai menilik kawasan baru untuk memperluas pangsa pasarnya. Pulau Sumatera menjadi salah satu pilihan setelah beberapa tahn lalu perseroan membangun terminal semen di Lampung dan Palembang.
Selain itu, Sulawaesi Tenggara juga menjadi salah satu pasar yang potensial khususnya di Konawe dan Morowali. Christian bilang di lokasi tersebut terdapat sejumlah proyek pemurnian (smelter) yang berpotensi menyerap permintaan semen. Penguatan pasar di Sulawesi juga ditunjang dengan adanya floating terminal di Konawe.
Baca juga: Ini Beda Investor dan Spekulator Menurut Lo Kheng Hong
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.