Di sisi perusahaan media pada umumnya menganalisis performa revenue iklan programmatic dalam basis CPM saja karena impresi iklan masih bisa dikontrol sedangkan klik iklan yang notabene diinisiasi audiens tidak bisa dikontrol.
Dikarenakan tidak semua impresi iklan yang dimiliki media bisa terjual maka perusahaan media menggunakan satuan metriks eCPM (effective cost per mile) yang merupakan rasio total revenue berbanding total impresi iklan yang tersedia.
Satuan eCPM inilah yang digunakan perusahaan media digital di seluruh dunia sebagai satuan harga inventori iklan.
Data eCPM agregat industri sayangnya tidak dapat diakses publik, namun kita bisa melihat data yang dimiliki group media digital terbesar di Indonesia KG Media sebagai referensi.
Menurut data, eCPM KG Media dalam 3 tahun terahir mengalami penurunan cukup signifikan antara 15 persen - 27 persen setiap tahunnya.
Angka penurunan tersebut jika dikalikan dengan pertumbuhan iklan programmatic tadi maka bisa dibayangkan betapa signifikannya penyusutan revenue yang akan dihadapi perusahaan media dalam tahun-tahun berikutnya jika perusahaan media digital tidak melakukan inisiatif-inisiatif strategis untuk mengantisipasi.
Saya ingat betul di tahun 2008 – 2010 ketika masih berprofesi sebagai media planner di sebuah agency periklanan, saya masih harus melakukan banyak negosiasi harga untuk menempatkan iklan di sebuah media dengan brand yang sudah dikenal memiliki kredibilitas baik.
Harga iklan di media-media tersebut masuk dalam kategori premium dengan harga yang lebih tinggi dibanding media atau inventori lain. Bahkan untuk beberapa media, saya harus berebut tempat dengan pemasang iklan lain yang rela membayar tinggi untuk inventori premium tersebut.
Situasi seperti itu nampaknya sudah berubah sejak hadirnya platform programmatic. Karena programmatic bersifat media agnostic dengan skala yang sangat besar, platform periklanan programmatic menyerahkan penentuan harga iklan pada mekanisme supply & demand tanpa mempedulikan kualitas brand media atau kualitas konten.
Secara natural pemasang iklan mungkin bersedia membayar lebih mahal atas performa inventori iklannya bukan pada konten di mana iklan tersebut melekat.
Hal ini tentunya kontradiktif dengan kenyataan operasional di perusahaan media di mana untuk memproduksi konten berkualitas tentunya memerlukan investasi yang lebih mahal dan ketika value yang diciptakan tidak berkorelasi dengan sumber revenue utamanya.
Maka bisa disimpulkan bahwa keberlangsungan konten-konten berkualitas sedang mengalami masalah yang cukup mendasar.
Dari tiga realitas di atas timbul pertanyaan: Apakah business model periklanan digital bisa menjadi sandaran keberlangsungan media digital dengan konten yang berkualitas?
Pertanyaan yang jauh lebih esensial datang dari media-media berita: Apakah business model periklanan bisa mendukung keberlangsungan jurnalisme?
Pertanyaan terakhir ini menjadi sangat penting untuk kita pikirkan bersama. Topik tentang keberlangsungan jurnalisme ini menjadi katalis yang meleburkan dinding api (firewall) antara bisnis media dan jurnalisme (sederhananya: urusan redaksional) yang selama ini dijaga ketat kesterilannya.