Soal segambreng nilai dan tujuan mulia (virtue ethics) koperasi, itu semua harus bisa diartikulasikan dalam bahasa dan cara pandang mereka.
Dua generasi itu saat ini membutuhkan dua hal: pekerjaan dan pendapatan, bagaimana koperasi bisa menjawab aspirasi itu. Misalnya melalui koperasi pekerja (worker coop) dan koperasi startup (startup coop) dan sejenisnya. Value proposition yang ditawarkan adalah penciptaan pekerjaan (job creation) dan pendapatan (revenue creation).
Di sisi lain, kelas menengah juga memiliki aspirasi yang meningkat. Ketika mereka memiliki kelebihan sejumlah dana dan mulai memikirkan investasi, bagaimana koperasi menjawabnya. Di sisi lain ada tren jual-beli saham dan crowd funding.
Apakah financial literacy yang koperasi ajarkan kepada anggota hanya akan berhenti pada bab menabung saja? Tentu tidak, bukan? Kita perlu mengembangkan produk/ layanan tertentu untuk menjawabnya.
Koperasi sektor riil juga tak lepas dari tantangan. Bagaimana mereka dapat meningkatkan produktivitas, efisiensi produksi sehingga bisa memberi nilai tinggi pada anggotanya. Di saat banyak startup-startup masuk ke industri pangan, misalnya.
Apakah koperasi sektor riil akan menggunakan pendekatan yang obsolete dengan teknik dan cara yang sama. Atau sebaliknya membangun kemitraan dengan mereka yang memiliki teknologi yang terhubung dengan ekosistem itu.
Kesadaran (sense of urgency) itu perlu disemai sehingga menjadi bagian keseharian koperasi. Yang setelah diendapkan, akan menjadi inspirasi dan laku aksi. Ada satu contoh bagus di Bali bagaimana Koperasi Kopmitama, fokus budidaya porang, mendesain kelompok anggotanya secara non-konvesional.
Mereka membagi anggotanya menjadi empat: Pemilik Modal, Pemilik Lahan, Petani Penggarap dan Profesional. Masing-masing pihak memperoleh bagi hasil yang disepakati bersama. Tak hanya itu, tahun 2021 ini ada tiga program inovasi yang mereka lakukan, yakni: inovasi budidaya, inovasi produksi dan inovasi pemasaran.
Baca juga: Kemenkop UKM Targetkan Cetak 100 Koperasi Modern pada 2021
Dalam kondisi mutakhir itu, Kementerian Koperasi dan UKM serta Dinas Provinsi/ Kota/ Kab dapat menjadi trigger. Berbagai peningkatan kapasitas melalui serangkaian bimbingan teknis/ pelatihan harus mulai menawarkan tema-tema baru seperti di atas. Bukan tema usang yang melulu itu-itu saja.
Penting juga memfasilitasi kemitraan antara koperasi dengan mitra-mitra strategis lainnya. Sebab dalam kemitraan itu transfer pengetahuan, keahlian dan teknologi akan terjadi secara langsung. Tidak ketinggalan, menerbitkan regulasi yang dibutuhkan, sebutlah model Koperasi Multi Pihak dan model baru lainnya.
Meski begitu kita harus mawas, peran pemerintah hanya sebatas trigger dan enabler. Selebihnya kembali ke koperasi masing-masing sebagai organisasi swatata dan swadaya. Saya ingat betul satire santai mendiang Sularso, mantan Dirjend dan pegiat koperasi sampai akhir hayat,
“Koperasi kita ini aslinya telor apa batu? Kalau batu, mau dierami sampai kapan pun, tidak bakal netas”.
Tentu saja saya, dan juga Anda, meyakininya telor. Namun seringkali keyakinan saja tidak cukup. Butuh kerja cerdas dan keras untuk mewujudkannya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.