Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

[KURASI KOMPASIANA] Potret Pendidikan Perempuan terhadap Kepemimpinan Perempuan | Masih Banyak Perempuan Belum Merdeka

Kompas.com - 06/04/2021, 13:23 WIB
Harry Rhamdhani

Penulis

KOMPASIANA---Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) pada 2016 mengeluarkan survei mengenai pendidikan perempuan.

Hasilnya, rata-rata perempuan hanya mendapat pendidikan sampai kelas 2 sekolah menengah pertama (SMP) saja.

Selain itu, dari data Badan Pusat Statistik (BPS) 2019 menunjukkan, angka melek huruf pada perempuan lebih rendah dari laki-laki dengan berada di angka 94,33 persen, sedangkan laki-laki 97,48 persen.

Berkaca dari data tersebut, kesadaran untuk untuk memperluas kesempatan pendidikan bagi perempuan perlu ditingkatkan.

Sebab, hal itu memiliki dampak positif yang cukup signifikan, seperti mengurangi kesenjangan hingga mengakhiri kemiskinan, bagi masyarakat dan bangsa Indonesia sendiri.

Pembahasan mengenai pendidikan perempuan menjadi salah topik populer di Kompasiana. Berikut konten-kontennya:

1. Potret Pendidikan Anak Perempuan terhadap Kepemimpinan Perempuan

Kompasianer Bayu Samudra mengatakan, sebagian kecil masyarakat masih menganggap perempuan tidak layak berpendidikan.

Bahkan, menurutnya, perempuan tak mendapat sambutan hangat ketika memilih menuntaskan pendidikan wajib belajar dua belas tahun.

Dikatakannya, pendidikan anak perempuan harus sejajar, sama rata dengan pendidikan anak laki-laki. Pendidikan tidak mengenal jenis kelamin.

Pendidikan itu universal. Menurutnya pendidikan diperuntukkan untuk siapa saja, diberikan kepada semua orang tanpa melihat jenis kelamin, suku, agama, bangsa, dan negara.

"Kenyataan di lapangan, perempuan kadang diperlakukan tidak sama dengan laki-laki," tulisnya. (Baca selengkapnya)

2. Masih Banyak Perempuan Belum Merdeka

Kompasianer Redemptus Ukat mengatakan, di Nusa Tenggara Timur (NTT), khususnya di Kabupaten Belu, akan dengan mudah ditemui ibu-ibu yang buta huruf atau yang tidak sekolah sama sekali.

Mereka ini, menurutnya, adalah ibu-ibu rumah tangga yang sibuk mengurus anak-anak dan aktivitas rumah tangga lainnya.

Selain itu, dikatakannya, di sana sangat mudah menemukan ibu-ibu yang hanya mengenal angka dan uang.

Umumnya ibu-ibu ini adalah yang setiap hari berjuang dengan barang dagangannya atau hasil tenunannya di pasar.

"Melihat kenyataan ini saya menemukan 2 faktor utama yang menyebabkan perempuan di NTT terlambat menyadari kesamaan hak mereka dengan laki - laki," katanya. (Baca selengkapnya)

3. Ketika Stereotip (Masih) Menjadi Penghalang bagi Pendidikan Perempuan

Percaya atau tidak stereotip itu masih melekat di pedesaan.

Selain itu, ada mitos jika perempuan menolak lelaki yang datang untuk melamar maka ia akan kesulitan menemukan jodoh ke depannya.

Stereotip yang melekat ini faktanya menghambat banyak anak perempuan untuk bersekolah hingga ke jenjang sarjana.

Data Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama mencatat 34 ribu permohonan dispensasi kawin (menikah di bawah umur 19 tahun) dari bulan Januari-Juni 2020.

Dari jumlah tersebut, 97% dikabulkan dan 60% yang mengajukan adalah anak di bawah 18 tahun. (Baca selengkapnya)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com