Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Utang Membengkak, Pemerintah Diminta Agresif Tarik Pajak Digital

Kompas.com - 14/04/2021, 12:56 WIB
Fika Nurul Ulya,
Bambang P. Jatmiko

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Ekonom Bahana Sekuritas Putera Satria Sambijantoro menilai pemerintah perlu memberlakukan pajak secara agresif untuk perusahaan digital yang beroperasi di Indonesia.

Hal ini sedikit banyak mengadopsi ketentuan AS soal perpajakan dalam pemerintahan Joe Biden.

Pemberlakuan pajak ini merupakan satu opsi utama dari tiga opsi yang bisa dipilih untuk meminimalkan kekurangan anggaran. Sebab, pajak penghasilan badan usaha (PPh 25) jadi penghambat utama penerimaan negara.

Baca juga: Ditjen Pajak Tebar "Surat Cinta" untuk Para Wajib Pajak

"Pemerintah memiliki 3 opsi kebijakan dalam pandangan kami, menaikkan tarif pajak perusahaan dan mengikuti tren global yang diprakarsai AS, memberlakukan pajak agresif untuk perusahaan digital yang beroperasi di Indonesia, dan melaksanakan program pengampunan pajak lainnya," ujar Satria dalam laporannya, Rabu (14/4/2021).

Satria merinci, tarif pajak perusahaan Indonesia telah turun menjadi 22 persen dari 30 persen selama dua dekade terakhir. Hal ini sejalan dengan penurunan tarif pajak global.

Bagi Indonesia, penyumbang utama kurangnya anggaran adalah pajak penghasilan badan / PPh Badan 25 yang turun dari Rp 256,7 triliun pada 2019 menjadi Rp1 58,3 triliun pada 2020.

Sebagian besar dapat dikaitkan dengan pandemi Covid-19. Berdasarkan perkiraannya, sebanyak 30 persen kekurangan atau sekitar Rp 23,5 triliun hingga Rp 30,7 triliun disebabkan oleh pemotongan tarif pajak perusahaan menjadi 22 persen dari 25 persen.

"Kami memperkirakan kekurangan akan mencapai puncaknya pada Rp 74 triliun tahun depan, atau 0,5 persen dari PDB, ketika tarif pajak perusahaan diturunkan lebih jauh menjadi 20 persen, atau bahkan 17 persen untuk beberapa perusahaan publik tertentu," sebut Satria.

Satria menilai, opsi agresifitas pemberlakuan pajak digital mengurangi kekhawatiran apakah Indonesia dapat menyeimbangkan anggaran tanpa mengurangi pengeluaran dan menggagalkan momentum pemulihan.

Adapun rasio pajak terhadap PDB RI merupakan yang terendah di dunia, yakni sekitar 8 persen.

"Diamanatkan untuk menormalkan defisit anggaran hingga di bawah 3 persen dari PDB pada tahun 2023, pemerintah memiliki tiga opsi kebijakan (yang disebutkan)," papar dia.

Baca juga: Apakah Pensiunan Masih Harus Lapor SPT Tahunan? Simak Penjelasan Ditjen Pajak

Sementara itu, pajak digital dipilih sebagai opsi utama karena RI merupakan pasar terbesar untuk ekonomi digital di Asia Tenggara. Potensi perolehan senilai Rp 21,3 triliun dari kebijakan pajak digital.

Adopsi kebijakan AS

Satria menilai, pengenaan pajak pada perusahaan teknologi akan sejalan dengan tren global. Tercatat beberapa negara sudah mengenakan pajak layanan digital, seperti Prancis, Inggris, Italia, Spanyol, Turki, India, dan Austria.

AS sendiri tengah menggodok rencana pembatalan kebijakan Trump terdahulu soal perpajakan. Biden berencana menaikkan pajak korporasi dari 21 persen menjadi 28 persen.

Pihaknya juga memungkinkan perusahaan teknologi AS dikenakan pajak yang adil. Dua kebijakan ini berbanding terbalik dengan sistem Donald Trump.

Baca juga: 6 Jenis Transaksi Ini Akan Diawasi oleh Ditjen Pajak

Perlindungan Trump atas Google, Facebook, Netflix, dan raksasa teknologi AS lainnya telah meningkatkan ketegangan perdagangan trans-Atlantik dan membatalkan kesepakatan internasional tentang masalah pajak digital.

"Inisiatif AS untuk menaikkan tarif pajak dan meningkatkan pendapatan negara tampaknya menjadi arah global ke depan, karena negara-negara menghadapi utang yang lebih tinggi dari pandemi Covid-19," pungkas Satria.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com