Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Heryadi Silvianto
Dosen FIKOM UMN

Pengajar di FIKOM Universitas Multimedia Nusantara (UMN) dan praktisi kehumasan.

Menaruh Percaya Ide "Sillicon Valley" Indonesia

Kompas.com - 22/04/2021, 07:06 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BUKIT Algoritma di Sukabumi dan "Silicon Valley" banyak diperbincangkan oleh publik saat ini, terkait pengembangan pusat inkubasi teknologi dan informasi di Indonesia. Perbincangan diisi dengan pro dan kontra, beragam cara pikir berkelindan di ruang publik.

Seperti biaya yang besar pembangunan tahap awal Bukit Algoritma diperkirakan menelan dana yang fantastis di masa pandemik hingga 1 miliar Euro atau setara Rp 18 triliun.

Baca juga: Pengembangan Bukit Algoritma Sukabumi Telan Dana Rp 18 Triliun

Perbincangan Silicon Valley Indonesia menjadi riuh tidak bisa dipungkiri karena diinisiasi oleh seorang politisi dan aktivis media sosial, Budiman Sujatmiko.

Budiman akhir-akhir ini kerap memposisikan diri secara virtual (virtual positioning) sebagai sosok yang dekat dengan teknologi dan mendorong inovasi. Selepas tidak menjadi anggota DPR, dirinya mencoba bertranformasi dari isu ‘pejuang’ UU desa ke gerakan innovator.

Sesungguhnya kita tidak perlu menaruh curiga berlebihan manakala ide ini diawali oleh seorang politisi. Sepanjang basis argumentasi memadai, tidak menggantungkan diri pada sosok dan tetap berpijak pada sistem, tentu gagasan ini menjadi kabar yang menggembirakan.

Agar tidak terjebak “euphoria tanpa makna” atau “sinisme berlebihan” perlu dicermati bahwa gagasan membuat ‘Silicon Valey’ bukan hal baru di Indonesia.

Baca juga: Mengenal Bukit Algoritma Sukabumi, Tiruan Silicon Valley Ala Indonesia

Bisa ditelusuri di mesin pencari berita bahwa ide tersebut ‘datang dan pergi’ hingga ‘timbul tenggelam’ dari sejumlah pesohor atau pejabat negeri ini dari tingkat daerah hingga pusat.

Dari gubernur, menteri, bahkan hingga Presiden Jokowi. Faktanya hingga saat ini baru sekadar wacana tanpa rupa, jadi berita yang tidak pernah terwujud. Sekali lagi, tentu terlampau prematur juga mengatakan ini sebagai ghosting, prank, dan sejenisnya.

Diskursus kita dalam menanggapi beragam rencana proyek ambisius jangan sampai terjebak pada pertarungan pesan minim ide, buktinya banyak contoh serupa yang pada akhirnya harus terbengkalai.

Meski baru di ‘akuisisi’ oleh Negara, meski terseok suka tidak suka Taman Mini Indonesia Indah (TMII) merupakan salah satu projek ambisius yang relatif masih eksis.

Terkoneksi dengan sumber utama

Proyek yang mengambil inspirasi dari Silicon Valley bukan hanya ada di Indonesia, banyak juga di negara-negara lain. Yang relatif berhasil adalah China dan India.

Menukik lebih tajam contoh sukses ada di India, tepatnya di Bangalore. Kota yang terletak di selatan India ini secara luas dikenal sebagai "Lembah Silikon India" atau "ibu kota TI India" karena perannya sebagai pengekspor teknologi informasi (TI) terkemuka negara itu.

Selain perusahaan raksasa seperti Amazon dan Uber ada beberapa perusahaan lain yang berpusat di Bangalore yakni perusahaan infoteknologi Cognizant, Texas Instruments, Wipro, Microsoft, SAP LABS, Accenture, dan Infosys.

Sejumlah perusahaan multinasional dan startup tumbuh subur, bahkan Tesla perusahaan terkemuka mobil listrik juga sudah menjatuhkan hati untuk menetap di sana.

Sejatinya ekosistem seperti Sillicon Valey tidak terbentuk dalam hitungan hari dan tahun, dilakukan bertahun-tahun. Tidak di California, pun di Bangalore India.

Baca juga: Ridwan Kamil: Rencana Pembangunan Silicon Valley Jangan Cuma Gimik

Bangalore sebagai pusat teknologi di India telah terkoneksi dengan Silicon Valley di Amerika sejak lama dan menjadi pusat ‘limpahan’ teknologinya.

Perbedaan waktu Amerika dan India selama 12 jam tidak menjadi kendala, sebaliknya menjadi faktor pengungkit dan penguat bisnisnya. Saat orang Amerika terlelap, insinyur India mengerjakan.

Terkoneksi satu sama lain dan menguatkan aksi kerjasama. Jenis pekerjaan yang mahal di Amerika, bisa dikerjakan separuhnya di India dengan kualitas yang relatif sama. Ibarat pepatah; “harga kaki lima, kualitas bintang lima”.

Tentu pertanyaan kritis adalah pada kemampuan Bukit Algoritma menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari konektivitas sistem global yang sudah eksis.

Karena pada akhirnya setiap produk yang dihasilkan dari Bukit Algoritma menjadi rantai pasokan (supply chain) yang saling terpaut dan berhubungan.

Backbone awal Silicon Valley dari pusat pendidikan, bukan proyek infrastruktur semata. Bahkan berawal dari kegelisahan dan resesi, namun berhasil melompat lebih tinggi menjadi yang terdepan dalam teknologi.

Ibarat pepatah, mundur selangkah untuk kemudian maju beberapa langkah. Mereka mampu menjadikan krisis sebagai turning point atau titik balik untuk menghadirkan beragam kebutuhan yang lebih baik.

Mereka yang ada di Silicon Valley adalah yang sehari-hari ada dalam komunitas dan entitas tersebut, bukan orang yang tiba-tiba berpindah dari satu profesi ke profesi lain.

Hati-hati jebakan politik praktis

Sebagaimana ditulis dalam buku The Word Is Flat kaya Thomas L Friedman. Pada tahun 1951, atas dasar keyakinannya, Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru mendirikan tujuh Institut Teknologi India (ITI) yang pertama di Kharagpur.

Dalam waktu 55 tahun, ratusan ribu orang India telah bersaing untuk masuk dan lulus dari ketujuh ITI dan institut swasta. Termasuk enam insititut manajemen india yang mengajarkan ilmu administrasi bisnis.

Dengan populasi lebih dari satu miliar, kompetisi ini menghasilkan meritokrasi ilmu secara luar biasa. India seperti pabrik yang menghasilkan dan mengekspor sebagian orang berbakat di bidang rekayasa, ilmu komputer, dan perangkat lunak kepada dunia.

Sayangnya, langkah ini hanya merupakan salah satu dari sedikit langkah India yang benar. Sistem politiknya seringkali tidak jalan, apalagi Nehru cenderung pro-Soviet dalam arah ekonomi sosialisnya.

Baca juga: Mengenal Silicon Valley: Lembah Teknologi Acuan Bukit Algoritma Sukabumi

Akibatnya, sampai pertengahan tahun 1999-an, India tidak bisa memberi pekerjaan yang baik bagi sekian banyak insinyurnya yang berbakat itu.

Maka, Amerikalah yang menjadi pembeli kedua daya pikir India! Dahulu, orang India yang pintar dan terpelajar harus meninggalkan India, idealnya pergi ke Amerika.

Itulah satu-satunya cara untuk bisa memenuhi potensinya. Di sanalah sekitar 25.000 lulusan perguruan tinggi teknologi terbaik India menetap sejak tahun 1953, mereka memperkaya tambang pengetahuan Amerika berkat pendidikannya, yang disubsidi oleh para pembayar pajak di India.

Kini, kita menyaksikan puncak kesuksesan teknologi informasi India, ada Sundar Pichai yang didapuk sebagai CEO Google, Satya Narayana Nadella CEO Microsoft, Shantanu Narayen CEO Adobe dan banyak lainnya.

Pun di Indonesia, tengok saja dari pusat bisnis Jakarta yang seringkali disebut segitiga emas (Sudirman, Thamrin, dan Kuningan) banyak ahli-ahli TI India. Mereka bertebaran diberbagai belahan dunia.

Bukit Algoritma dan ide-ide sejenis lainnya dalam puncak pencapaiannya adalah kemampuan mengaktivasi dan mengakomodasi anak negeri untuk mendapatkan akses terhadap pengembangan riset, teknologi, dan informasi yang memadai.

Bukan sekadar mengundang investasi padat modal. Karena terbukti banyak talenta luar biasa di Indonesia, justru tidak mampu menemukan ekosistem yang baik di dalam negeri.

Mereka lebih banyak mengembangkan diri di luar negeri. Salah satu ihwal alasan karena ada banyak keputusan politik yang kontraproduktif dalam pengembangan riset.

Anggaran riset Indonesia relative kecil. Rasio belanja penelitian dan pengembangan di Indonesia hanyalah 0,25 persen dari produk domestik bruto (PDB).

Banyak keputusan politik dapat mengakselerasi pengembangan riset, namun juga disisi lain ada lebih banyak yang kontraproduktif karena basisnya kepentingan sesaat. Semoga tidak.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com