Pada 27 Januari 2021 Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden menerbitkan Executive Order (EO) nomor 14008 berjudul Tackling the climate crisis at home and abroad. EO ini menempatkan krisis iklim di jantung kebijakan luar negeri dan keamanan nasional AS.
EO ini memberi penekanan terhadap transisi ke energi bersih, dekarbonisasi sektoral, pembiayaan yang sejalan dengan Kesepakatan Paris, dan secara khusus menyoroti pembiayaan batubara.
Baca juga: Baru Dilantik, Biden Langsung Bawa AS Kembali Ikuti Perjanjian Paris
Karena EO ini mengunci “pembiayaan oleh pelaku keuangan AS” dan “pembelian barang atau jasa oleh pemerintah AS”, luberan globalnya tidak bisa diabaikan.
Sebagai contoh, kita lihat sektor perbankan. Hingga April 2021, empat bank terbesar AS—yaitu JPMorgan Chase, Bank of America, Wells Fargo, dan Citigroup— ditambah dua bank besar lain yang menargetkan emisi karbon nol secara netto.
Meski tidak dalam waktu dekat, secara bertahap mereka akan meninggalkan batubara dan pembangkit listrik berbasis batubara. Sikap mereka ini biasanya diikuti oleh perbankan di luar AS.
Selain karena faktor imej kelestarian, mereka khawatir debiturnya terkena hambatan ekspor ke AS akibat isu iklim, sebagai ikutan dari EO yang dikeluarkan Biden.
Masalahnya, Indonesia jauh tertinggal dalam hal transisi ke energi bersih, dekarbonisasi sektoral, dan pembiayaan yang sejalan dengan Kesepakatan Paris.
Untuk energi, misalnya, Indonesia sangat tergantung pada batubara dan migas. Sebagai contoh, hingga 2020, pembangkit listrik berbahan bakar fosil di Indonesia mencapai 55.216 Mega Watt (87,4 persen), dengan batubara menyumbang 31.827 MW (50.4 persen).
Di sisi lain, ketergantungan swasta dan BUMN Indonesia, termasuk perbankan nasional, terhadap pembiayaan dari AS dan perbankan global ternyata cukup besar.
Hingga Februari 2021, AS memegang 31,37 miliar dollar AS atau 16,35 persen utang luar negeri swasta Indonesia, sementara outstanding pinjaman swasta dari perbankan global mencapai 96,75 miliar dollar ASatau mendekati Rp 1.400 triliun.
Jika dianggap tidak serius bertransisi ke energi bersih, Indonesia berisiko terpukul dari dua sisi, yaitu sumber pembiayaan swasta dan ekspor.
Krisis iklim, atau lebih luas lagi isu kelestarian (sustainability), memang berdampak negatif bagi yang enggan bertransisi. Namun, dia menjadi peluang besar bagi yang mau menerapkannya. Contohnya adalah pengelolaan hutan lestari (sustainable forest management – SFM).
Selama bertahun-tahun, perusahaan hutan tanaman industri (HTI) serta pulp and papers Indonesia menjadi sasaran kampanye global karena dicap sebagai pelaku deforestasi.
Akibatnya, korporasi seperti Disney, Mattel, Xerox, dan Woolworths sempat memboikot mereka. Ekspor perusahaan-perusahaan HTI serta pulp and papers Indonesia pun anjlok ke titik terendah senilai 4,98 miliar dollar AS pada 2016.
Sebagai respons, sejak dekade 2000-an, pemerintah, swasta, dan masyarakat sipil bekerja keras memperbaiki kinerja SFM. Hasilnya, pada Desember 2014 perusahaan HTI mulai mendapatkan sertifikat SFM dari IFCC/PEFC.