Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dradjad H Wibowo
Ekonom

Ekonom, Lektor Kepala Perbanas Institute, Ketua Pembina Sustainable Development Indonesia (SDI), Ketua Pendiri IFCC, dan Ketua Dewan Pakar PAN.

Pemulihan Ekonomi di Tengah Pandemi dan Krisis Iklim

Kompas.com - 28/04/2021, 20:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

 

DUNIA saat ini menghadapi dua bencana besar, yaitu pandemi Covid-19 dan perubahan iklim. Bedanya, pandemi seperti ledakan besar yang datang tiba-tiba, sementara perubahan iklim merayap selama beberapa dekade.

Meski demikian, perubahan iklim bisa menimbulkan ledakan dengan kerusakan yang lebih besar dan lebih permanen dari pandemi, jika tidak dimitigasi. Itu sebabnya Presiden Amerika Serikat Joe Biden sampai menamainya sebagai “krisis iklim”.

 

Meski berdampak destruktif, pandemi dan krisis iklim sebenarnya membuka peluang besar secara ekonomi dan bisnis.

Contohnya, selama pandemi banyak bisnis seperti aplikasi, e-commerce, packaging, logistik, ekspedisi, makanan beku, serta kesehatan dan farmasi yang justru melejit. Bisnis packaging dunia misalnya tumbuh 5,5 persen selama pandemi, diproyeksikan bernilai 1.013 miliar dollar AS pada 2021.

Tantangannya adalah bagaimana Indonesia mampu mengambil peluang tersebut secara maksimal. Jangan sampai dia lewat begitu saja, sehingga kita hanya terkena dampak negatif dari bencana.

Mari kita bahas peluang tersebut, dimulai dari vaksinasi.

Vaksinasi

Vaksinasi memang bukan solusi paripurna pandemi. Namun, saat ini vaksinasi adalah peluang terbaik dunia untuk mengatasinya.

Dengan vaksinasi, penanganan pandemi dan pemulihan ekonomi bisa berjalan sinergis, berbeda dengan lockdown yang secara kesehatan positif tapi secara ekonomi negatif.

Penyebabnya adalah karena perekonomian tergantung pergerakan orang. Jika pergerakan terganggu, konsumsi rumah tangga dan investasi juga terganggu.

Padahal, bagi Indonesia, konsumsi rumah tangga dan investasi menyumbang sekitar 90 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Pada 2020, angkanya adalah 89,39 persen, dengan kontribusi konsumsi 57,66 persen dan investasi 31,73 persen.

Pemerintah bisa memberi stimulus fiskal. Namun, peranan belanja pemerintah hanya 9,29 persen PDB pada 2020.

Pelaku perbankan, pasar modal dan warga lanjut usia (lansia) saat menerima suntikan vaksin Sinovac di Main Hall Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta Pusat, Rabu (31/3/2021). Sebanyak 780 orang telah terdaftar untuk menerima dosis vaksin yang diselenggarakan PT Bursa Efek Indonesia (BEI).KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG Pelaku perbankan, pasar modal dan warga lanjut usia (lansia) saat menerima suntikan vaksin Sinovac di Main Hall Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta Pusat, Rabu (31/3/2021). Sebanyak 780 orang telah terdaftar untuk menerima dosis vaksin yang diselenggarakan PT Bursa Efek Indonesia (BEI).

Jika herd immunity tercapai melalui vaksinasi, pergerakan orang bisa dipulihkan tanpa banyak risiko penyebaran virus. Jika herd immunity belum tercapai tapi persentase penduduk yang divaksin cukup tinggi, penyebaran virus cenderung menurun.

Rumah tangga dan pelaku usaha yang sudah divaksin pun lebih konfiden beraktivitas ekonomi, sehingga konsumsi dan investasi mulai pulih. Demikian juga dengan pertumbuhan ekonomi.

Bagi mereka yang skeptis terhadap vaksinasi, mari kita lihat data dari Inggris. Inggris memulai vaksinasi pada 8 Desember 2020. Pada hari itu terdapat 12.386 kasus aktif Covid-19 dan terus naik hingga mencapai puncaknya menjadi 68.192 kasus pada 8 Januari 2021.

Namun, setelah itu, jumlah kasus aktif Covid-19 di Inggris menurun tajam, menjadi hanya 2.122 pada 24 April 2021. Hingga 23 April 2021, Inggris sudah memvaksinasi 33,51 juta orang atau 49,36 persen penduduknya.

Hal yang serupa juga terjadi di Israel, yang 62,11 persen penduduknya sudah divaksin. Kasus harian di Israel turun drastis dari puncak 11.394 menjadi hanya 82.

Tentu ada faktor lain yang juga berpengaruh. Namun, yang jelas, vaksinasi berhasil!

Itulah sebabnya vaksin COVID-19 menjadi komoditas strategis global. Inggris dan Uni Eropa sampai bersitegang karenanya.

Itu juga alasannya mengapa saya pernah mengapresiasi kerja sama pemerintah dengan Sinovac, Novavax, dan sebagainya sebagai langkah yang tepat. Karena, pasokan vaksin bagi Indonesia menjadi lebih terjamin lewat kerja sama itu, meski dunia dilanda nasionalisme vaksin.

Baca juga: Wawancara Khusus Menlu Retno Marsudi - Diplomasi Vaksin: Membuka Akses, Meratakan Jalan

Dengan terjaminnya pasokan, hingga 24 April 2021 Indonesia sudah menyuntikkan 18,48 juta dosis vaksin, yang terdiri dari 11,70 juta dosis pertama dan 6,78 juta dosis kedua. Angka ini jauh di atas Singapura (2,21 juta), Australia (1,91 juta), Filipina (1,61 juta), Malaysia (1,26 juta), Thailand (1,1 juta), dan Selandia Baru (0,18 juta).

Jumlah penduduk Indonesia yang sudah divaksin penuh mencapai 6,78 juta orang. Ini sekitar 6 juta di atas Singapura (850.000 orang) dan Malaysia (490.000 orang). Keempat negara yang lain jauh lebih rendah. Data negara tetangga di atas saya ambil dari ourworldindata.org.

Namun, karena besarnya populasi, baru 2,5 persen penduduk Indonesia yang divaksin penuh, di bawah Singapura (14,5 persen), di atas Malaysia (1,5 persen). Melihat pengalaman Inggris dan Israel, kita perlu memvaksin penduduk sebanyak dan sesegera mungkin.

Petugas kesehatan menerima suntikan vaksin corona buatan Sinovac di RSIA Tambak, Jakarta Pusat, Jumat (15/1/2021). Vaksin Sinovac telah mendapatkan izin penggunaan darurat atau emergency use authorization (EUA) dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Dengan izin penggunaan darurat ini, vaksin CoronaVac produksi Sinovac Life Science Co.Ltd.China dan PT Bio Farma (Persero) dapat digunakan untuk program vaksinasi di Indonesia.KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG Petugas kesehatan menerima suntikan vaksin corona buatan Sinovac di RSIA Tambak, Jakarta Pusat, Jumat (15/1/2021). Vaksin Sinovac telah mendapatkan izin penggunaan darurat atau emergency use authorization (EUA) dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Dengan izin penggunaan darurat ini, vaksin CoronaVac produksi Sinovac Life Science Co.Ltd.China dan PT Bio Farma (Persero) dapat digunakan untuk program vaksinasi di Indonesia.

Harus diakui, tidak sedikit yang menyangsikan efikasi CoronaVac (vaksin produksi Sinovac). Benar, efikasinya relatif pas-pasan.

Saya malah mengritik keras uji klinis fase 3 CoronaVac yang tidak transparan. Namun, dalam situasi bencana, jika hanya ada angkot untuk mengevakuasi korban, apa kita akan ngotot mencari bus mewah?

Yang penting, kita jangan tergantung pada satu jenis vaksin. Karena itu, riset untuk menemukan vaksin dan obat Covid-19 menjadi kepentingan strategis Indonesia, dengan memanfaatkan kekayaan biodiversitas kita.

Serokonversi

Di medsos banyak beredar cerita tentang orang yang sudah divaksin tapi tetap positif Covid-19. Cerita seperti ini jelas menimbulkan persepsi negatif terhadap vaksinasi.

Jika persepsi ini dibiarkan, cakupan vaksinasi berisiko jauh di bawah level herd immunity. Peluang ekonomi dan bisnis dari vaksinasi bisa redup atau bahkan hilang.

Baca juga: Klaster Perkantoran di Jakarta Meningkat karena Euforia Vaksinasi Covid-19

Karena itu, edukasi publik soal vaksin ini harus maksimal. Masyarakat perlu diedukasi sesering mungkin bahwa: (1) imunitas dari vaksin muncul paling cepat 14-28 hari setelah suntikan kedua, (2) akan ada sebagian kecil penerima vaksin yang sangat lambat/gagal memiliki imunitas, dan (3) imunitas itu tidak bertahan tahunan.

Rujukan saya untuk butir 1 dan 2 adalah data serokonversi CoronaVac yang dilaporkan oleh Profesor Yanjun Zhang et al dalam Safety, tolerability, and immunogenicity of an inactivated SARS-CoV-2 vaccine in healthy adults aged 18-59 years: a randomized, double-blind, placebo-controlled, phase 1/2 clinical trial (The Lancet Infectious Diseases, 17/11/2020).

Serokonversi adalah periode ketika badan kita mulai memproduksi antibodi pada level yang bisa dideteksi. Untuk butir ketiga, rujukannya dari konsensus ilmiah yang ada sekarang.

Krisis iklim

Pada 27 Januari 2021 Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden menerbitkan Executive Order (EO) nomor 14008 berjudul Tackling the climate crisis at home and abroad. EO ini menempatkan krisis iklim di jantung kebijakan luar negeri dan keamanan nasional AS.

EO ini memberi penekanan terhadap transisi ke energi bersih, dekarbonisasi sektoral, pembiayaan yang sejalan dengan Kesepakatan Paris, dan secara khusus menyoroti pembiayaan batubara.

Baca juga: Baru Dilantik, Biden Langsung Bawa AS Kembali Ikuti Perjanjian Paris

Karena EO ini mengunci “pembiayaan oleh pelaku keuangan AS” dan “pembelian barang atau jasa oleh pemerintah AS”, luberan globalnya tidak bisa diabaikan.

Ilustrasi perubahan iklim. Peneliti pelajari perubahan iklim dari fosil cangkang yang diambil dari laut dalam.SHUTTERSTOCK/PARABOL STUDIO Ilustrasi perubahan iklim. Peneliti pelajari perubahan iklim dari fosil cangkang yang diambil dari laut dalam.

Sebagai contoh, kita lihat sektor perbankan. Hingga April 2021, empat bank terbesar AS—yaitu JPMorgan Chase, Bank of America, Wells Fargo, dan Citigroup— ditambah dua bank besar lain yang menargetkan emisi karbon nol secara netto.

Meski tidak dalam waktu dekat, secara bertahap mereka akan meninggalkan batubara dan pembangkit listrik berbasis batubara. Sikap mereka ini biasanya diikuti oleh perbankan di luar AS.

Selain karena faktor imej kelestarian, mereka khawatir debiturnya terkena hambatan ekspor ke AS akibat isu iklim, sebagai ikutan dari EO yang dikeluarkan Biden.

Masalahnya, Indonesia jauh tertinggal dalam hal transisi ke energi bersih, dekarbonisasi sektoral, dan pembiayaan yang sejalan dengan Kesepakatan Paris.

Untuk energi, misalnya, Indonesia sangat tergantung pada batubara dan migas. Sebagai contoh, hingga 2020, pembangkit listrik berbahan bakar fosil di Indonesia mencapai 55.216 Mega Watt (87,4 persen), dengan batubara menyumbang 31.827 MW (50.4 persen).

Di sisi lain, ketergantungan swasta dan BUMN Indonesia, termasuk perbankan nasional, terhadap pembiayaan dari AS dan perbankan global ternyata cukup besar.

Hingga Februari 2021, AS memegang 31,37 miliar dollar AS atau 16,35 persen utang luar negeri swasta Indonesia, sementara outstanding pinjaman swasta dari perbankan global mencapai 96,75 miliar dollar  ASatau mendekati Rp 1.400 triliun.

Jika dianggap tidak serius bertransisi ke energi bersih, Indonesia berisiko terpukul dari dua sisi, yaitu sumber pembiayaan swasta dan ekspor.

Sustainability pays

Krisis iklim, atau lebih luas lagi isu kelestarian (sustainability), memang berdampak negatif bagi yang enggan bertransisi. Namun, dia menjadi peluang besar bagi yang mau menerapkannya. Contohnya adalah pengelolaan hutan lestari (sustainable forest management – SFM).

Selama bertahun-tahun, perusahaan hutan tanaman industri (HTI) serta pulp and papers Indonesia menjadi sasaran kampanye global karena dicap sebagai pelaku deforestasi.

Akibatnya, korporasi seperti Disney, Mattel, Xerox, dan Woolworths sempat memboikot mereka. Ekspor perusahaan-perusahaan HTI serta pulp and papers Indonesia pun anjlok ke titik terendah senilai 4,98 miliar dollar AS pada 2016.

Sebagai respons, sejak dekade 2000-an, pemerintah, swasta, dan masyarakat sipil bekerja keras memperbaiki kinerja SFM. Hasilnya, pada Desember 2014 perusahaan HTI mulai mendapatkan sertifikat SFM dari IFCC/PEFC.

IFCC (the Indonesian Forestry Certification Cooperation) adalah lembaga pengembang dan pemilik skema sertifikasi independen, yang merupakan anggota dari PEFC (the Programme for the Endorsement of Forest Certification) dari Jenewa, Swiss.

Ilustrasi aktivis memperjuangkan kelestarian hutan sebagai upaya mencegah krisis iklim.SHUTTERSTOCK/DANIEL OWL Ilustrasi aktivis memperjuangkan kelestarian hutan sebagai upaya mencegah krisis iklim.

PEFC ini merupakan sertifikasi SFM terbesar di dunia. Saya adalah pendiri IFCC dan anggota PEFC Board.

Pada 2015, baru 0,7 juta hektar HTI yang bersertifikat SFM. Angkanya naik drastis menjadi 2,4 juta hektar (2016) dan 3,7 juta hektar (2017). Hingga hari ini, semua HTI yang SFM sudah mendapat sertifikat, dengan luas sekitar 4 juta hektar (74 perusahaan), ditambah 40 perusahaan pengolahan atau konsumer akhir.

Dengan SFM, ternyata ekspor pulp and papers naik kembali. Sejak 2017, ekspor naik menjadi  6,21 miliar dollar AS (2017), 7,13 miliar dollar AS (2018), 7,15 miliar dollar AS (2019), dan hanya turun 4,4 persen menjadi 6,84 miliar dollar AS (2020) saat pandemi.

Hemat saya, ini tidak lepas dari fakta bahwa banyak sekali korporasi terbesar dunia yang mewajibkan sertifikat SFM (termasuk dari PEFC) sebagai salah satu syarat melakukan pembelian. Di antara korporasi yang sudah mewajibkan sertifikasi itu adalah Apple, Johnson & Johnson, Walmart, Nestle, P&G, Samsung, LV, dan Zara.

Jadi, sustainabily pays.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com