Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Waspadai Inflasi, BI Diprediksi Dongkrak Suku Bunga Acuan Tahun Depan

Kompas.com - 27/05/2021, 11:58 WIB
Fika Nurul Ulya,
Ambaranie Nadia Kemala Movanita

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Bank Indonesia (BI) diproyeksi tidak lagi memiliki ruang untuk menurunkan suku bunga acuan BI-7DRRR di level 3,50 persen tahun ini.

Hal itu terlihat ketika BI kembali memutuskan menahan suku bunga 3 bulan berturut-turut.

Dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) teranyar, BI lebih menekankan pada kebijakan makroprudensial dan penyaluran likuiditas alih-alih menurunkan suku bunga acuan.

Baca juga: Mulai 1 Juli, Batas Maksimum Suku Bunga Kredit Turun Jadi 1,75 Persen

Bank sentral juga mengakui, pengetatan suku bunga akan dilakukan meski waktunya masih jauh yang diproyeksi sekitar tahun depan.

Pengetatan suku bunga mempertimbangkan beberapa komponen, termasuk tingkat inflasi.

"Pemotongan suku bunga lebih lanjut mungkin tidak ada dalam benak Bank Indonesia. Gubernur BI Perry Warjiyo mencatat tingkat suku bunga 3,50 persen tetap benar dalam pengaturan inflasi yang rendah saat ini, meski dia memperingatkan akselerasi inflasi tahun depan," kata Ekonom Bahana Sekuritas, Putera Satria Sambijantoro dalam laporannya, Kamis (27/5/2021)

Satria berpandangan, bank sentral terlihat waspada pada tingkat inflasi ke depan, meski saat ini inflasi terus-menerus rendah.

Pada bulan April, indeks harga konsumen (IHK) 1,42 persen secara tahunan (yoy), jauh dari target BI sebesar 3 persen (yoy).

Baca juga: BI Kembali Tahan Suku Bunga Acuan di Level 3,5 Persen

Menurut Satria, inflasi akibat lonjakan harga komoditas akan berdampak lambat terhadap inflasi.

Namun, adanya rencana kenaikan tarif PPN, PPh OP orang kaya, dan pajak karbon mungkin mampu mengerek inflasi tahun depan.

Pada perkiraan awal, Satria memprediksi kenaikan PPN dari 10 persen menjadi 12 persen hanya akan menambah 0,2 persen ke inflasi tahunan.

Namun akan menyumbang 0,8 persen ke inflasi tahunan jika Kemenkeu menghapus pengecualian PPN untuk 4 barang dan 17 layanan.

"Menaikkan PPN dari 0 persen menjadi 12 perswn untuk industri makanan dan pariwisata, hingga layanan keuangan dan perawatan kesehatan akan menambah lebih dari 0,8 persen terhadap CPI tahunan. Perhatikan pula pajak karbon juga akan mempengaruhi inflasi," beber Satria.

Baca juga: Suku Bunga Sudah Rendah, BRI Akui Permintaan Kredit Masih Lemah

Satria beranggapan, BI lebih "menyukai" kenaikan pajak daripada terus memonetisasi utang pemerintah.

Meskipun memicu inflasi, kenaikan pajak sebenarnya akan menghasilkan pendapatan yang sangat dibutuhkan untuk mempersempit defisit fiskal.

Pada akhirnya, akan mengurangi kebutuhan BI untuk berpartisipasi dalam skema tanggung rentang (burden sharing) yang dilakukan bank sentral sejak tahun 2020.

Tercatat tahun ini, BI telah membeli obligasi senilai Rp 108,4 triliun dari lelang primer dan dari green shoe option (GSO) Rp 6,4 triliun pada bulan Mei saja.

"Kami juga memperkirakan BI akan terus membeli utang pemerintah, mengingat kebutuhan pembiayaan kotor Kementerian Keuangan sangat besar sekitar Rp 965 triliun antara April hingga Desember tahun ini," pungkas Satria.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Harga Bahan Pokok Sabtu 20 April 2024, Harga Ikan Tongkol Naik

Harga Bahan Pokok Sabtu 20 April 2024, Harga Ikan Tongkol Naik

Whats New
Aliran Modal Asing Keluar Rp 21,46 Triliun dari RI Pekan Ini

Aliran Modal Asing Keluar Rp 21,46 Triliun dari RI Pekan Ini

Whats New
Kementerian PUPR Buka 26.319 Formasi CPNS dan PPPK 2024, Ini Rinciannya

Kementerian PUPR Buka 26.319 Formasi CPNS dan PPPK 2024, Ini Rinciannya

Whats New
[POPULER MONEY] Kartu Prakerja Gelombang 66 Dibuka | Luhut dan Menlu China Bahas Kelanjutan Kereta Cepat Sambil Makan Durian

[POPULER MONEY] Kartu Prakerja Gelombang 66 Dibuka | Luhut dan Menlu China Bahas Kelanjutan Kereta Cepat Sambil Makan Durian

Whats New
Ada Konflik di Timur Tengah, RI Cari Alternatif Impor Migas dari Afrika dan Amerika

Ada Konflik di Timur Tengah, RI Cari Alternatif Impor Migas dari Afrika dan Amerika

Whats New
Langkah PAI Jawab Kebutuhan Profesi Aktuaris di Industri Keuangan RI

Langkah PAI Jawab Kebutuhan Profesi Aktuaris di Industri Keuangan RI

Whats New
Akar Masalah BUMN Indofarma Belum Bayar Gaji Karyawan

Akar Masalah BUMN Indofarma Belum Bayar Gaji Karyawan

Whats New
Nestapa BUMN Indofarma, Sudah Disuntik APBN, Masih Rugi

Nestapa BUMN Indofarma, Sudah Disuntik APBN, Masih Rugi

Whats New
Tol Japek II Selatan Diyakini Jadi Solusi Kemacetan di KM 66

Tol Japek II Selatan Diyakini Jadi Solusi Kemacetan di KM 66

Whats New
Punya Gaji Tinggi, Simak Tugas Aktuaris di Industri Keuangan

Punya Gaji Tinggi, Simak Tugas Aktuaris di Industri Keuangan

Whats New
Nasib BUMN Indofarma: Rugi Terus hingga Belum Bayar Gaji Karyawan

Nasib BUMN Indofarma: Rugi Terus hingga Belum Bayar Gaji Karyawan

Whats New
Pembatasan Pembelian Pertalite dan Elpiji 3 Kg Berpotensi Berlaku Juni 2024

Pembatasan Pembelian Pertalite dan Elpiji 3 Kg Berpotensi Berlaku Juni 2024

Whats New
OJK Sebut 12 Perusahaan Asuransi Belum Punya Aktuaris

OJK Sebut 12 Perusahaan Asuransi Belum Punya Aktuaris

Whats New
OJK Cabut Izin Usaha BPR Syariah Saka Dana Mulia di Kudus

OJK Cabut Izin Usaha BPR Syariah Saka Dana Mulia di Kudus

Whats New
Ada Indikasi TPPU lewat Kripto, Indodax Perketat Pengecekan Deposit

Ada Indikasi TPPU lewat Kripto, Indodax Perketat Pengecekan Deposit

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com