KOLOM BIZ
Konten ini merupakan kerja sama Kompas.com dengan Experd Consultant
Eileen Rachman dan Emilia Jakob
Character Building Assessment & Training EXPERD

EXPERD (EXecutive PERformance Development) merupakan konsultan pengembangan sumber daya manusia (SDM) terkemuka di Indonesia. EXPERD diperkuat oleh para konsultan dan staf yang sangat berpengalaman dan memiliki komitmen penuh untuk berkontribusi pada perkembangan bisnis melalui layanan sumber daya manusia.

Komunikasi, Madu atau Racun?

Kompas.com - 29/05/2021, 08:02 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DALAM kehidupan sehari-hari, kita sering melihat orang-orang yang cekcok akhirnya didamaikan dengan alasan “miskomunikasi”. Alasan ini terasa janggal. Sebab, hal tersebut ibarat menyalahkan sambungan internet yang tidak bagus ketika kedua pihak gagal membina hubungan satu sama lain.

Seolah-olah, hubungan yang ada sebenarnya baik-baik saja. Masalah muncul karena ada sedikit gangguan teknis dalam berkomunikasi.

Komunikasi memang sangat penting dalam membangun sebuah hubungan sampai menjadi erat. Sebaliknya, sering kali kita melihat ketidakpiawaian individu dalam berkomunikasi dapat membuat hubungan memudar seiring waktu berjalan. Tak jarang, hubungan itu akhirnya menjadi berantakan.

Ada pepatah dalam dunia bisnis yang relevan untuk situasi tersebut, yakni “Communication separates a good business from a great one”. Dengan komunikasi yang efektif, kita dapat melihat potensi masalah lebih jelas dan lancar. Dengan begitu, kita dapat mengimplementasikan solusi yang tepat.

Banyak orang mengatakan bahwa berkomunikasi secara efektif membuat kita lebih banyak mengidentifikasi kesempatan. Kita pun tahu, hubungan baik hanya bisa diintensifkan melalui komunikasi.

Bagaimana mungkin seorang atasan bisa mendapatkan masukan mengenai kepuasan kerja karyawan bila dilakukan dengan gaya komunikasi yang kasar dan otoriter?

Bila kita membina komunikasi yang baik dengan pelanggan, bukankah kita bisa dengan cepat mengetahui kesalahan pelayanan yang terjadi dan segera membuat perbaikan?

Memberi sesuai kebutuhan

Kita tahu, memberi adalah tindakan mulia. Namun, pernahkan kita memikirkan lebih dalam saat kita berkomunikasi dengan lawan bicara mengenai apa yang ia butuhkan?

Sebagai contoh seorang wartawan. Ia pasti memiliki kebutuhan berbeda dibandingkan dengan seorang pelanggan ataupun bawahan saat berhadapan dengan lawan bicaranya.

Seorang wartawan membutuhkan informasi selengkap-lengkapnya, sedangkan pelanggan butuh mengetahui manfaat yang bisa dia dapatkan. Sementara itu, seorang bawahan mungkin membutuhkan rasa aman di atas segala-galanya.

Kepekaan akan kebutuhan lawan bicara membuat komunikasi jauh lebih efektif. Menyesuaikan cara penyampaian pesan sesuai dengan kebutuhan akan memudahkan pesan diterima secara tepat. Mulai dari kalimat pembuka yang digunakan, jumlah materi dan kedalaman substansi yang perlu disampaikan, hingga metode penyampaian yang lebih tepat sasaran perlu disesuaikan dengan lawan bicara.

Manfaatkan inteligensi emosi

Kita sering kali memandang negatif istilah “baper” atau terbawa perasaaan sehingga merasa perlu menghindarinya. Padahal, perasaan memegang peran sangat penting dalam proses komunikasi.

Kita bisa menggunakan perasaan untuk mendalami masalah pelik yang melatarbelakangi sikap seseorang. Penggunaan emosi yang positif dapat membantu kerja tim dan organisasi menjadi lebih efektif.

Pada dunia modern, toleransi dan penerimaan merupakan persyaratan utama dalam berbagai tingkah laku bisnis. Kemudian, konteks sosial dan emosi sangat penting untuk dapat mengasah empati kita.

Kita juga perlu mengoptimalkan komunikasi nonverbal. Hal sederhana seperti senyuman dapat membuat lawan bicara merasa nyaman dan menciptakan suasana hangat. Kita perlu mempelajari dan mengontrol ekspresi muka, kontak mata, suara, dan gerak tangan.

Selain itu, kita perlu membiasakan diri dengan tata krama yang positif. Seorang ahli komunikasi mengatakan, tata krama dalam berkomunikasi bukan sekadar untuk kepentingan sopan santun, tetapi juga dapat membuat kita mampu menempatkan diri dalam struktur hubungan yang tepat.

Boleh dikatakan, manners adalah perekat peradaban dan membuat posisi kita menguntungkan.

Eileen RachmanDok. EXPERD Eileen Rachman

Menjadi pendengar profesional

Ada orang yang terlihat mendengar, tetapi sebetulnya sedang menunggu giliran untuk berbicara. Kita mendengar 125–250 kata per menit, tetapi otak kita sebenarnya dapat memproses 1.000–3.000 kata per menit. Tidak heran, 85 persen dari orang yang mengisi survei terkait komunikasi mengakui bahwa mereka adalah pendengar yang buruk.

Orang yang tidak suka mendengar biasanya terlihat dari pandangannya yang tidak fokus dan terbiasa cepat menginterupsi. Pada masa sekarang, ketika komunikasi dapat dilakukan secara virtual, kesibukan dan melakukan komunikasi multichannel dalam satu waktu kerap dijadikan alasan pembenaran ketidaksukaan untuk memberikan fokus perhatian pada lawan bicara.

Kabar buruknya, mungkin hampir semua dari kita sulit menjadi pendengar yang baik. Namun, kabar baiknya, keterampilan mendengar ini bisa dilatih.

Satu hal yang harus kita pegang bila ingin menjadi pendengar yang baik adalah kesediaan kita untuk terlebih dahulu membuka dan mengosongkan pikiran dari segala asumsi yang telah dimiliki.

Fokus pada pembicaraan lawan dapat ditingkatkan dengan keterampilan mendengar, seperti summarizing, confirming, dan engaging.

Perangi asumsi, ajukan pertanyaan

Pada dasarnya, manusia memang sering membuat asumsi. Sebab, asumsi dinilai dapat mempercepat keputusan yang mereka ambil. Padahal, hal ini sangat berbahaya.

Bagaimana bila asumsi itu salah? Terlebih, bila keputusan tersebut memengaruhi hubungan baik, transaksi bisnis, karier, atau reputasi pada masa mendatang.

Kita bukan mind reader. Saat ini, fakta dan realitas dengan mudah bisa dikonfirmasi bila kita ingin lebih berusaha.

Ketimbang mereka-reka alasan seseorang tidak menjawab e-mail, tingkat kepuasan pelanggan terhadap layanan kita, atau kesesuaian produk inovatif kita dengan kebutuhan pasar, lebih baik kita mengajukan pertanyaan melalui survei kecil atau pembicaraan informal.

Dengan meluangkan waktu untuk selalu mempertanyakan asumsi, kita bisa mendapatkan informasi yang lebih akurat dan meningkatkan kinerja.

Kita pun perlu mencermati setiap langkah dalam proses bisnis dan meneliti bagaimana berlangsungnya komunikasi dalam setiap tahap tersebut. Ada beberapa hal yang sering taken for granted, dianggap lumrah, padahal sebetulnya penting.


komentar di artikel lainnya
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com