Orel (2020) menambahkan bahwa faktor-faktor itu tidak ditemukan pada organisasi konvensional (old-fashioned).
Biasanya pekerja kreatif yang bergantung pada relasi sosial dan komunikasi informal untuk menginspirasi ide terkait erat dengan cara kerja yang dinamis. Terus mencari suasana baru yang mendorong kreativitas.
Faktor lain juga berkontribusi seperti mengubah gaya hidup (Mueller, 2016), peluang untuk bebas dari rintangan kerja tradisional (Wang dkk, 2018) dan kemungkinan memulai perjalanan menemukan jati diri (Nash dkk, 2018).
De Carvalho dkk (2011) mendefinisikan nomaden sebagai fenomena yang kompleks, terdiri atas proses dinamis dari praktik yang melibatkan interaksi antara manusia dan teknologi untuk menyelesaikan pekerjaan di lokasi yang berbeda.
Selanjutnya Bean dan Eisenberg (2006) mendeskripsikan nomaden sebagai "gaya baru yang radikal dari kerja" yang didasarkan atas mobilitas di dalam dan luar perusahaan, kerja paperless dan terintegrasi dengan teknologi yang mendukung fleksibilitas kerja.
Pandangan lain disampaikan Su dan Mark (2008) yang menekankan bahwa gaya hidup nomaden merepresentasi bentuk ekstrim dari kerja secara mobile yang melibatkan tiga standar.
Pertama, pekerja nomaden menghabiskan waktunya untuk melakukan perjalanan (travelling). Kedua, mereka tidak terkait dengan tempat yang tetap. Ketiga mereka membawa dan mengelola sumber daya yang diperlukan sehingga dapat mempersiapkan tempat kerja secara tepat.
Para pengembara digital biasa mengincar destinasi yang sesuai dengan orientasi kerja dan standar yang menjadi acuan mereka menjalani kehidupan.
Berlin (Mueller, 2016) dan Praha (Orel, 2019) di Eropa, Medellin (Thompson, 2018) dan Antigua (Thompson, 2019) di Amerika Selatan, Siem Reap Town, Kamboja (Bouncken dkk, 2016) dan Ubud, Bali (Wang dkk, 2019) di Asia, diakui sebagai kota destinasi para pengembara digital di dunia.
Pemberitaan Kompas.com (12/5/2021) mengutip laporan InsureMyTrip seperti dilansir Forbes menyebutkan, sepuluh negara terbaik para pengembara digital adalah Norwegia, Meksiko, Jerman, Portugal, Islandia, Yunani, Kosta Rika, Jamaika, Spanyol, dan Bermuda.
Belakangan beberapa negara Asia pun gencar mempromosikan destinasinya sebagai tempat yang sesuai untuk pengembara digital.
Baca juga: Dibiayai Negara, Ini Kriteria PNS yang Bisa Kerja dari Resort di Bali
Thailand salah satunya yang menyiapkan Chiang Mai, Bangkok, dan Krabi sebagai destinasi hot spot pengembara digital (Orel, 2020).
Di balik usaha pemulihan wisata dengan menawarkan destinasi sebagai lokasi bagi para pengembara digital, setidaknya terdapat tiga isu yang mengemuka.
Pertama, pengembangan destinasi seharusnya menguntungkan perekonomian lokal penduduk setempat.
Penyiapan sarana dan prasarana pendukung kerja secara digital semestinya dapat menarik para pekerja pengembara digital yang memiliki kecakapan tinggi, bukan sebaliknya.