Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

[TREN WORKLIFE KOMPASIANA] Profesionalisme dan Stigmatisasi di Lingkungan Kerja

Kompas.com - 02/06/2021, 17:21 WIB
Harry Rhamdhani

Penulis

KOMPASIANA---Dalam bekerja dan meniti karier yang kita butuhkan tentu saja sikap profesional dari apa yang dikerjakan.

Meski pada rutinitas pekerjaan kita sedang baik-baik saja, tapi apakah pernah mengukur berapa nilai profesionalisme kita?

Sebagai contoh, seberapa sering kita dapat mengakui kekeliruan atas apa yang kita kerjakan tanpa mesti berkelit kepada atasan maaupun sesama teman kerja?

Hal ini tentu menunjukkan bagaimana kita bisa berbuat lebih baik dan bertanggungjawab pada pekerjaan lainnya di kantor.

1. Profesional di Linkedin, Amatir di Dunia Nyata

Linkedin merupakan media sosial yang biasa digunakan untuk menampilkan keahlian professional yang kita miliki.

Oleh karena itu, tidak sedikit orang yang sedang membutuhkan karyawan baru di tempat kerja, hal pertama yang dilihatnya adalah Linkedin.

Terkait hal itu, Kompasianer Yudi Rahardjo sedang intens mengakses Linkedin miliknya karena tuntutan pekerjaan.

Akan tetapi sayangnya Kompasianer Yudi Rahardjo menemukan adik kelasnya dulu semasa kuliah menyematkan nama perusahaan yang dulu pernah beberapa kali dicoba untuk melamar dan gagal.

Adik kelasnya itu menganggap jika Linkedin sama saja seperti media sosial lainnya yang juga berada di dunia maya. Intinya, dia tidak bekerja di sana.

"Saya punya prinsip jika media sosial adalah kita yang sebenarnya, bukan kita yang direkayasa, jika memang belum memiliki pencapaian dalam karir tak usah mencantumkan hal palsu," tulis Kompasianer Yudi Rahardjo. (Baca selengkapnya)

2. Stigmatisasi Dunia Kerja terhadap Mahasiswa Drop Out

Kompasianer Frederikus Suni pada 2019 memutuskan untuk berhenti kuliah. Tidak lama setelah itu mulailah bersentuhan dengan dunia kerja.

Pengalaman pertama yang dialami adalah ketika melakukan interview dan tim rekruiter yang menaruh sikap skeptis (ragu) akan kemampuannya.

"Sebagai mahasiswa drop out, tentu saya tidak mempunyai banyak pilihan selain terus mengasah skill dan belajar sepanjang waktu," tulis Kompasianer Frederikus Suni. (Baca selengkapnya)

3. Awas, Favoritisme Memicu Lingkungan Kerja Beracun

Segala sesuatu di tempat kerja, menurut Kompasianer Himam Miladi adalah tentang persaingan.

Promosi, pengakuan, reputasi, pencapaian target kerja, dan lain-lain saat kita mulai terlihat dan dianggap memiliki nilai lebih dengan sesama rekan kerja oleh atasan.

Tidak ada yang keliru atas hal itu, Kompasianer Himam Miladi justru menyukai lingkungan kerja yang kompetitif. Terlebih dengan orang-orang yang ambisius dan termotivasi.

Akan tetapi, sedikit sekali perusahaan yang dapat menyajikan lingkungan kerja dengan iklim kompetisi yang sehat.

"Lebih banyak perusahaan yang lingkungan kerjanya beracun karena persaingan yang tidak sehat antar karyawan, seperti munculnya favoritisme," tulis Kompasianer Himam Miladi. (Baca selengkapnya)

***

Simak beragam konten menarik lainnya seputar kehidupan di dunia kerja di Kompasiana lewat subkategori Worklife.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kemenhub Fasilitasi Pemulangan Jenazah ABK Indonesia yang Tenggelam di Perairan Jepang

Kemenhub Fasilitasi Pemulangan Jenazah ABK Indonesia yang Tenggelam di Perairan Jepang

Whats New
Apa Pengaruh Kebijakan The Fed terhadap Indonesia?

Apa Pengaruh Kebijakan The Fed terhadap Indonesia?

Whats New
Gandeng Telkom Indonesia, LKPP Resmi Rilis E-Katalog Versi 6

Gandeng Telkom Indonesia, LKPP Resmi Rilis E-Katalog Versi 6

Whats New
Ekonomi China Diprediksi Menguat pada Maret 2024, tetapi...

Ekonomi China Diprediksi Menguat pada Maret 2024, tetapi...

Whats New
Berbagi Saat Ramadhan, Mandiri Group Berikan Santunan untuk 57.000 Anak Yatim dan Duafa

Berbagi Saat Ramadhan, Mandiri Group Berikan Santunan untuk 57.000 Anak Yatim dan Duafa

Whats New
Tarif Promo LRT Jabodebek Diperpanjang Sampai Mei, DJKA Ungkap Alasannya

Tarif Promo LRT Jabodebek Diperpanjang Sampai Mei, DJKA Ungkap Alasannya

Whats New
Bisnis Pakaian Bekas Impor Marak Lagi, Mendag Zulhas Mau Selidiki

Bisnis Pakaian Bekas Impor Marak Lagi, Mendag Zulhas Mau Selidiki

Whats New
Cara Reaktivasi Penerima Bantuan Iuran BPJS Kesehatan

Cara Reaktivasi Penerima Bantuan Iuran BPJS Kesehatan

Work Smart
Kehabisan Tiket Kereta Api? Coba Fitur Ini

Kehabisan Tiket Kereta Api? Coba Fitur Ini

Whats New
Badan Bank Tanah Siapkan Lahan 1.873 Hektar untuk Reforma Agraria

Badan Bank Tanah Siapkan Lahan 1.873 Hektar untuk Reforma Agraria

Whats New
Dukung Pembangunan Nasional, Pelindo Terminal Petikemas Setor Rp 1,51 Triliun kepada Negara

Dukung Pembangunan Nasional, Pelindo Terminal Petikemas Setor Rp 1,51 Triliun kepada Negara

Whats New
Komersialisasi Gas di Indonesia Lebih Menantang Ketimbang Minyak, Ini Penjelasan SKK Migas

Komersialisasi Gas di Indonesia Lebih Menantang Ketimbang Minyak, Ini Penjelasan SKK Migas

Whats New
Mulai Mei 2024, Dana Perkebunan Sawit Rakyat Naik Jadi Rp 60 Juta Per Hektar

Mulai Mei 2024, Dana Perkebunan Sawit Rakyat Naik Jadi Rp 60 Juta Per Hektar

Whats New
KA Argo Bromo Anggrek Pakai Kereta Eksekutif New Generation per 29 Maret

KA Argo Bromo Anggrek Pakai Kereta Eksekutif New Generation per 29 Maret

Whats New
Mudik Lebaran 2024, Bocoran BPJT: Ada Diskon Tarif Tol Maksimal 20 Persen

Mudik Lebaran 2024, Bocoran BPJT: Ada Diskon Tarif Tol Maksimal 20 Persen

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com