Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Garuda Indonesia dan Sengkarut Problematika di Dalamnya

Kompas.com - 03/06/2021, 10:30 WIB
Akhdi Martin Pratama

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Kondisi PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk tengah menjadi sorotan publik. Kondisi keuangan maskapai pelat merah itu kian terpuruk akibat hantaman pandemi Covid-19.

Sebab, krisis tersebut membuat anjloknya jumlah penumpang. Di sisi lain, utang perseroan terus menumpuk hingga mencapai Rp 70 triliun dan diperkirakan terus bertambah Rp 1 triliun tiap bulannya.

Mengutip pemberitaan di Kompas.com, terkait permasalahan utang, saat ini manajemen Garuda Indonesia terus melakukan upaya-upaya dalam rangka memastikan risiko solvabilitas dapat dimitigasi dengan sebaik-baiknya. Manajemen maskapai tersebut saat ini tengah melakukan upaya renegosiasi dengan lessor pesawat.

Baca juga: Kementerian BUMN Kaji 4 Opsi Penyelamatan Garuda Indonesia

Selain itu, perseroan melakukan restrukturisasi utang usaha termasuk terhadap BUMN dan mitra usaha lainnya. Serta melakukan negosiasi langkah restrukturisasi pinjaman perbankan dan lembaga keuangan lainnya.

4 Opsi Penyelamatan

Di sisi lain, Kementerian BUMN tengah mengkaji empat opsi penyelamatan Garuda Indonesia. Opsi tersebut didapat dari hasil tolak ukur (benchmarking) dengan yang dilakukan oleh pemerintah di negara-negara lainnya.

Adapun opsi pertama penyelamatan Garuda Indonesia yakni pemerintah terus mendukung dengan memberikan pinjaman atau suntikan ekuitas. Hal ini berkaca dari kasus pada Singapore Airlines asal Singapura, Cathay Pacific asal Hong Kong, dan Air China Airlines asal China.
Namun catatan dalam opsi adalah berpotensi meninggalkan Garuda Indonesia dengan utang warisan yang besar yang akan membuat situasi menantang bagi perusahaan di masa depan.

Kedua, menggunakan hukum perlindungan kebangkrutan untuk merestrukturisasi Garuda Indonesia. Hal ini dilakukan dengan menggunakan legal bankruptcy process untuk merestrukturisasi kewajiban mencakup utang, sewa, dan kontrak kerja.

Pilihan yurisdiksi yang akan digunakan dalam opsi ini yakni U.S. Chapter 11 yang merupakan Undang-Undang Kepailitan Amerika Serikat, maupun yurisdiksi kepailitan negara lain. Selain itu, mempertimbangkan opsi pengajuan Penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU).

Opsi ini merujuk pada contoh kasus Thai Airways International dan Malaysia Airlines. Namun catatannya yakni masih belum jelas apakah undang-undang kepalilitan Indonesia mengizinkan restrukturisasi.

Lalu opsi ini juga berisiko restrukturisasi berhasil memperbaiki sebagian masalah (debt, lease), tetapi tidak memperbaiki masalah yang mendasarinya (culture, legacy).

Kemudian ketiga, merestrukturisasi Garuda Indonesia dan mendirikan perusahaan maskapai nasional baru. Opsi ini mencontoh dari kasus yang terjadi pada Sabena Airlines asal Belgia dan Swissair asal Swiss.

Nantinya Garuda Indonesia akan dibiarkan melalui restrukturisasi, namun di saat bersamaan mulai didirikan perusahaan maskapai penerbangan domestik baru. Maskapai baru ini akan mengambil alih sebagian besar rute domestik Garuda Indonesia dan menjadi national carrier di pasar domestik.

Opsi ini dimaksudkan untuk tetap menjaga Indonesia memiliki national flag carrier, tetapi tentu perlu eksplorasi lebih lanjut. Adapun estimasi modal yang dibutuhkan untuk pembuatan maskapai baru ini mencapai 1,2 miliar dollar AS.

Keempat, Garuda Indonesia dilikuidasi dan sektor swasta dibiarkan mengisi kekosongan. Lewat opsi melikuidasi Garuda Indonesia, maka pemerintah akan mendorong sektor swasta untuk meningkarkan layanan udara, misalnya dengan pajak bandara atau subsidi rute yang lebih rendah.

Opsi ini mencontoh dari kasus yang terjadi pada Varig Airlines asal Brasil dan Malev Hungarian Airlines asal Hongaria. Namun catatan pada opsi ini adalah artinya Indonesia tidak lagi memiliki national flag carrier.

Empat opsi ini pun telah dibenarkan oleh Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir

"Garuda kita ada purpose empat tahapan, saya enggak mau berdebat tahapan itu ya, karena teman-teman media juga sudah dapat. Kita justru ini tahapannya, satu, dua, tiga, empat," ujar Erick di Kementerian BUMN, Rabu (2/6/2021) kemarin.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com