Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Akankah Nasib Garuda Indonesia Sama seperti Merpati Airlines?

Kompas.com - 03/06/2021, 15:00 WIB
Akhdi Martin Pratama

Penulis

Adapun kontrak sewa pesawat jenis itu baru berakhir pada 2027 mendatang. Jika pesawat itu berhasil dikembalikan tahun ini, maka maskapai itu bisa melakukan penghematan hingga 220 juta dollar AS.

Yenny menambahkan, sejak dirinya ditunjuk sebagai Komisaris Garuda Indonesia pada Januari 2020, maskapai tersebut sudah mempunyai beban utang lebih dari Rp 20 triliun.

Apalagi, selama masa pandemi maskapai tersebut rugi besar tiap kali melayani penerbangan. Sebab, di masa itu Garuda Indonesia harus menerapkan social distancing demi mencegah penyebaran Covid-19.

Artinya, maskapai yang saat ini dipimpin oleh Irfan Setiaputra itu tak bisa mengangkut penumpang dengan 100 persen kapasitas. Dengan kondisi itu, perusahaan dalam tiap penerbangan biaya operasionalnya menjadi dua kali lipat di tengah penurunan pendapatan yang turun 90 persen.

Menurut Yenny, kondisi tersebut mencerminkan istilah sudah jatuh tertimpa tangga pula.

Pemerintah pun tak tinggal diam melihat kondisi maskapai kebanggannya tersebut. Negara berupaya menolong Garuda Indonesia dengan penerbitan Obligasi Wajib Konversi (OWK) dengan nilai maksimum Rp 8,5 triliun dan dengan tenor maksimum 7 tahun.

Namun, pada Februari 2021, manajemen maskapai pelat merah itu baru mencairkan dana dari OWK sebesar Rp 1 triliun.

Rupanya, langkah penyelamatan tersebut belum bisa menemukan titik cerah bagi Garuda Indonesia. Baru-baru ini Kementerian BUMN mengungkapkan empat opsi penyelamatan maskapai tersebut yang salah satunya adalah dilikuidasi.

Opsi pertama penyelamatan Garuda Indonesia yakni pemerintah terus mendukung dengan memberikan pinjaman atau suntikan ekuitas. Hal ini berkaca dari kasus pada Singapore Airlines asal Singapura, Cathay Pacific asal Hong Kong, dan Air China Airlines asal China.

Namun catatan dalam opsi adalah berpotensi meninggalkan Garuda Indonesia dengan utang warisan yang besar yang akan membuat situasi menantang bagi perusahaan di masa depan.

Kedua, menggunakan hukum perlindungan kebangkrutan untuk merestrukturisasi Garuda Indonesia. Hal ini dilakukan dengan menggunakan legal bankruptcy process untuk merestrukturisasi kewajiban mencakup utang, sewa, dan kontrak kerja.

Pilihan yurisdiksi yang akan digunakan dalam opsi ini yakni U.S. Chapter 11 yang merupakan Undang-Undang Kepailitan Amerika Serikat, maupun yurisdiksi kepailitan negara lain. Selain itu, mempertimbangkan opsi pengajuan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU).

Opsi ini merujuk pada contoh kasus Thai Airways International dan Malaysia Airlines. Namun catatannya yakni masih belum jelas apakah undang-undang kepalilitan Indonesia mengizinkan restrukturisasi.

Lalu opsi ini juga berisiko restrukturisasi berhasil memperbaiki sebagian masalah (debt, lease), tetapi tidak memperbaiki masalah yang mendasarinya (culture, legacy).

Kemudian ketiga, merestrukturisasi Garuda Indonesia dan mendirikan perusahaan maskapai nasional baru. Opsi ini mencontoh dari kasus yang terjadi pada Sabena Airlines asal Belgia dan Swissair asal Swiss.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com