Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Akankah Nasib Garuda Indonesia Sama seperti Merpati Airlines?

Kompas.com - 03/06/2021, 15:00 WIB
Akhdi Martin Pratama

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Kondisi keungan PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk sedang dalam kondisi sulit. Perusahaan milik negara itu tengah menanggung utang hingga mencapai Rp 70 triliun dan diperkirakan terus bertambah Rp 1 triliun tiap bulannya.

Kondisi keuangan yang sedang "berdarah-darah" ini salah satunya ditengarai karena penurunan jumlah penumpang akibat pembatasan pergerakan orang di masa pandemi Covid-19.

Selain itu, kondisi keuangan Garuda Indonesia kian memburuk juga disumbang dari "warisan masa lalu". Hal tersebut diungkapkan oleh salah satu Komisaris Independen Garuda Indonesia Yenny Wahid.

Baca juga: Terlilit Utang Rp 70 Triliun, Apa Saja Strategi Garuda Indonesia untuk Bertahan?

"Banyak yang tanya soal Garuda. Saat ini kami sedang berjuang keras agar Garuda tidak dipailitkan. Problem warisan Garuda besar sekali, mulai dari kasus korupsi sampai biaya yang tidak efisien. Namun, Garuda adalah national flag carrier kita. harus diselamatkan," tulis Yenny di akun Twitter resminya, @yennywahid, yang dikutip Kompas.com pada Kamis (3/6/2021).

Jika merujuk pernyataan putri mantan Presiden RI Abdurrahman Wahid itu, warisan masa lalu yang harus ditanggung Garuda Indonesia sampai sekarang, yakni kasus korupsi yang menjerat mantan direktur utamanya, Emirsyah Satar.

Emirsyah divonis hukuman delapan tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider tiga bulan kurungan penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta, Jumat (8/5/2020).

Dalam dakwaan pertama, Emirsyah dinilai terbukti menerima uang berbentuk rupiah dan sejumlah mata uang asing yang terdiri dari Rp 5.859.794.797, lalu 884.200 dollar Amerika Serikat, kemudian 1.020.975 euro, dan 1.189.208 dollar Singapura.

Uang itu diterimanya melalui pengusaha pendiri PT Mugi Rekso Abadi yang juga beneficial owner Connaught International Pte Ltd.

Uang tersebut diberikan Soetikno supaya Emirsyah memuluskan sejumlah pengadaan yang sedang dikerjakan oleh PT Garuda Indonesia, yaitu Total Care Program mesin (RR) Trent 700, dan pengadaan pesawat Airbus A330-300/200.

Kemudian, pengadaan pesawat Airbus A320 untuk PT Citilink Indonesia, pengadaan pesawat Bombardier CRJ1000, dan pengadaan pesawat ATR 72-600.

"Kasusnya sedang berjalan. Sudah ditangani pengak hukum. Tapi efeknya masih dirasakan, karena menyangkut kontrak jangka panjang yang harus direnegoisasikan ulang, plus pembelian alat produksi yang tidak efisien. Misalnya pesawat yang tidak pas untuk kebutuhan maskapai," tambah Yenny.

Menurut dia, saat ini manajemen Garuda Indonesia tengah berjuang dengan cara merestrukturisasi utang dan merestrukturisasi biaya operasionalnya. Termasuk di dalamnya melakukan negoisasi ulang kontrak dengan leasing pesawat.

"Kita juga sedang fight untuk kembalikan pesawat yang tidak terpakai, mengingat di masa pandemi utilisasi menurun drastis," kata Yenny.

Manajemen maskapai milik negara tersebut diketahui sudah mengembalikan 12 pesawat jenis Bombardier CRJ 1000 kepada pihak leasing, yakni Nordict Aviation Capital (NAC) pada awal tahun lalu.

Sebab, selama tujuh tahun pengoperasian pesawat tersebut Garuda Indonesia disebut mengalami kerugian hingga 30 juta dollar AS dalam tiap tahunnya.

Adapun kontrak sewa pesawat jenis itu baru berakhir pada 2027 mendatang. Jika pesawat itu berhasil dikembalikan tahun ini, maka maskapai itu bisa melakukan penghematan hingga 220 juta dollar AS.

Yenny menambahkan, sejak dirinya ditunjuk sebagai Komisaris Garuda Indonesia pada Januari 2020, maskapai tersebut sudah mempunyai beban utang lebih dari Rp 20 triliun.

Apalagi, selama masa pandemi maskapai tersebut rugi besar tiap kali melayani penerbangan. Sebab, di masa itu Garuda Indonesia harus menerapkan social distancing demi mencegah penyebaran Covid-19.

Artinya, maskapai yang saat ini dipimpin oleh Irfan Setiaputra itu tak bisa mengangkut penumpang dengan 100 persen kapasitas. Dengan kondisi itu, perusahaan dalam tiap penerbangan biaya operasionalnya menjadi dua kali lipat di tengah penurunan pendapatan yang turun 90 persen.

Menurut Yenny, kondisi tersebut mencerminkan istilah sudah jatuh tertimpa tangga pula.

Pemerintah pun tak tinggal diam melihat kondisi maskapai kebanggannya tersebut. Negara berupaya menolong Garuda Indonesia dengan penerbitan Obligasi Wajib Konversi (OWK) dengan nilai maksimum Rp 8,5 triliun dan dengan tenor maksimum 7 tahun.

Namun, pada Februari 2021, manajemen maskapai pelat merah itu baru mencairkan dana dari OWK sebesar Rp 1 triliun.

Rupanya, langkah penyelamatan tersebut belum bisa menemukan titik cerah bagi Garuda Indonesia. Baru-baru ini Kementerian BUMN mengungkapkan empat opsi penyelamatan maskapai tersebut yang salah satunya adalah dilikuidasi.

Opsi pertama penyelamatan Garuda Indonesia yakni pemerintah terus mendukung dengan memberikan pinjaman atau suntikan ekuitas. Hal ini berkaca dari kasus pada Singapore Airlines asal Singapura, Cathay Pacific asal Hong Kong, dan Air China Airlines asal China.

Namun catatan dalam opsi adalah berpotensi meninggalkan Garuda Indonesia dengan utang warisan yang besar yang akan membuat situasi menantang bagi perusahaan di masa depan.

Kedua, menggunakan hukum perlindungan kebangkrutan untuk merestrukturisasi Garuda Indonesia. Hal ini dilakukan dengan menggunakan legal bankruptcy process untuk merestrukturisasi kewajiban mencakup utang, sewa, dan kontrak kerja.

Pilihan yurisdiksi yang akan digunakan dalam opsi ini yakni U.S. Chapter 11 yang merupakan Undang-Undang Kepailitan Amerika Serikat, maupun yurisdiksi kepailitan negara lain. Selain itu, mempertimbangkan opsi pengajuan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU).

Opsi ini merujuk pada contoh kasus Thai Airways International dan Malaysia Airlines. Namun catatannya yakni masih belum jelas apakah undang-undang kepalilitan Indonesia mengizinkan restrukturisasi.

Lalu opsi ini juga berisiko restrukturisasi berhasil memperbaiki sebagian masalah (debt, lease), tetapi tidak memperbaiki masalah yang mendasarinya (culture, legacy).

Kemudian ketiga, merestrukturisasi Garuda Indonesia dan mendirikan perusahaan maskapai nasional baru. Opsi ini mencontoh dari kasus yang terjadi pada Sabena Airlines asal Belgia dan Swissair asal Swiss.

Nantinya Garuda Indonesia akan dibiarkan melalui restrukturisasi, namun di saat bersamaan mulai didirikan perusahaan maskapai penerbangan domestik baru. Maskapai baru ini akan mengambil alih sebagian besar rute domestik Garuda Indonesia dan menjadi national carrier di pasar domestik.

Opsi ini dimaksudkan untuk tetap menjaga Indonesia memiliki national flag carrier, tetapi tentu perlu eksplorasi lebih lanjut. Adapun estimasi modal yang dibutuhkan untuk pembuatan maskapai baru ini mencapai 1,2 miliar dollar AS.

Keempat, Garuda Indonesia dilikuidasi dan sektor swasta dibiarkan mengisi kekosongan. Lewat opsi melikuidasi Garuda Indonesia, maka pemerintah akan mendorong sektor swasta untuk meningkarkan layanan udara, misalnya dengan pajak bandara atau subsidi rute yang lebih rendah.

Opsi ini mencontoh dari kasus yang terjadi pada Varig Airlines asal Brasil dan Malev Hungarian Airlines asal Hongaria. Namun catatan pada opsi ini adalah artinya Indonesia tidak lagi memiliki national flag carrier.

Dengan segala problematika tersebut, akan kah nasib Garuda Indonesia sama seperti Merpati Airlines?

Baca juga: Garuda Indonesia Resmi Serap Kucuran Duit APBN lewat Skema OWK

Merpati Airlines

Merpati Airlines merupakan maskapai milik negara sebelum adanya Garuda Indonesia.

Dikutip dari Harian Kompas, 31 Oktober 1978, berdirinya Merpati Nusantara Airlines berkat serangkaian usaha rintisan yang dilakukan oleh Angkatan Udara (AU) dan dwi-fungsi ABRI pada September 1962.
Beberapa perwira senior menggabungkan diri mereka dalam PN MNA, sebuah sarana perhubungan serbaguna antar-daerah dengan mengutamakan pelayanan kepada masyarakat. Modal dananya kala itu sebesar Rp 10 juta, dua pesawat Dakota, dan empat pesawat Otter/DHC 3.

Pada awal pengoperasiannya, MNA hanya menghubungkan lima kota besar. Pada tahun 1974, kepakan sayap Merpati merambah ke 175 kota.

Beberapa di antaranya adalah kota kecil, kota/kabupaten, bahkan kecamatan.

Pada 1975, perusahaan negara itu berubah menjadi persero, dengan Direktur Utama Ramli Sumardi.

Tercatat, sejak 26 Oktober 1978, Merpati Nusantara Airlines menjadi anak perusahan Garuda Airways. Dengan demikian, terjadi pengalihan penguasaan modal negara dari MNA kepada Garuda.

Pengalihan ini ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 30 tahun 1978 tanggal 26 Oktober 1978.

Spekulasi mengenai latar belakang pengalihan MNA menjadi anak Garuda ini mencuat.

Banyak pihak mengatakan, Merpati Nusantara Airlines terus mengalami kerugian, sehingga membutuhkan subsidi dari pemerintah. Dugaan itu bukan tanpa alasan.

Beberapa kalangan pejabat MNA di daerah sejak lama mengeluhkan keadaan perusahaan itu. Secara pintas, penambahan pesawat yang berasal dari penyertaan modal pemerintah merupakan suatu perkembangan.

Namun, dalam operasinya, perolehan muatan (load factor) terus mengalami penurunan sejak tahun 1972.

Akhirnya, Merpati Nusantara Airlines resmi berhenti beroperasi pada 1 Februari 2014 akibat masalah keuangan dan berbagai utang. Tercatat, MNA menanggung utang sebesar 10,95 triliun.

Jumlah itu terdiri dari Rp 1,09 triliun tagihan kreditur preferen, Rp 5,99 triliun tagihan konkuren, dan 3,87 triliun tagihan separatis.

Baca juga: Nasib Merpati Bisa Kembali Mengudara Belum Jelas

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Ratusan Sapi Impor Asal Australia Mati Saat Menuju RI, Badan Karantina Duga gara-gara Penyakit Botulisme

Ratusan Sapi Impor Asal Australia Mati Saat Menuju RI, Badan Karantina Duga gara-gara Penyakit Botulisme

Whats New
Watsons Buka 3 Gerai di Medan dan Batam, Ada Diskon hingga 50 Persen

Watsons Buka 3 Gerai di Medan dan Batam, Ada Diskon hingga 50 Persen

Spend Smart
Utang Pemerintah Kian Bengkak, Per Februari Tembus Rp 8.319,22 Triliun

Utang Pemerintah Kian Bengkak, Per Februari Tembus Rp 8.319,22 Triliun

Whats New
Heran Jasa Tukar Uang Pinggir Jalan Mulai Menjamur, BI Malang: Kurang Paham Mereka Dapat Uang Dari Mana...

Heran Jasa Tukar Uang Pinggir Jalan Mulai Menjamur, BI Malang: Kurang Paham Mereka Dapat Uang Dari Mana...

Whats New
Dongkrak Performa, KAI Logistik Hadirkan Layanan 'Open Side Container'

Dongkrak Performa, KAI Logistik Hadirkan Layanan "Open Side Container"

Whats New
Sumbangan Sektor Manufaktur ke PDB 2023 Besar, Indonesia Disebut Tidak Alami Deindustrialisasi

Sumbangan Sektor Manufaktur ke PDB 2023 Besar, Indonesia Disebut Tidak Alami Deindustrialisasi

Whats New
Harga Bahan Pokok Jumat 29 Maret 2024, Harga Ikan Tongkol Naik

Harga Bahan Pokok Jumat 29 Maret 2024, Harga Ikan Tongkol Naik

Whats New
Modal Asing Kembali Cabut dari RI, Pekan Ini Nilainya Rp 1,36 Triliun

Modal Asing Kembali Cabut dari RI, Pekan Ini Nilainya Rp 1,36 Triliun

Whats New
Kerap Kecelakaan di Perlintasan Sebidang, 5 Lokomotif KA Ringsek Sepanjang 2023

Kerap Kecelakaan di Perlintasan Sebidang, 5 Lokomotif KA Ringsek Sepanjang 2023

Whats New
Kemenag Pastikan Guru PAI Dapat THR, Ini Infonya

Kemenag Pastikan Guru PAI Dapat THR, Ini Infonya

Whats New
Harga Emas Antam Meroket Rp 27.000 Per Gram Jelang Libur Paskah

Harga Emas Antam Meroket Rp 27.000 Per Gram Jelang Libur Paskah

Whats New
Kapan Seleksi CPNS 2024 Dibuka?

Kapan Seleksi CPNS 2024 Dibuka?

Whats New
Info Pangan 29 Maret 2024, Harga Beras dan Daging Ayam Turun

Info Pangan 29 Maret 2024, Harga Beras dan Daging Ayam Turun

Whats New
Antisipasi Mudik Lebaran 2024, Kemenhub Minta KA Feeder Whoosh Ditambah

Antisipasi Mudik Lebaran 2024, Kemenhub Minta KA Feeder Whoosh Ditambah

Whats New
Jokowi Tegaskan Freeport Sudah Milik RI, Bukan Amerika Serikat

Jokowi Tegaskan Freeport Sudah Milik RI, Bukan Amerika Serikat

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com