Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Nasib Petani Tembakau Terancam, Komisi IV DPR Tolak Revisi Regulasi Rokok

Kompas.com - 04/06/2021, 06:29 WIB
Ade Miranti Karunia,
Ambaranie Nadia Kemala Movanita

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi IV DPR RI meminta pemerintah berhati-hati dalam mengambil keputusan terkait revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.

Revisi ini dinilai akan mengancam keberadaaan petani tembakau di Indonesia dan menimbulkan persoalan baru seperti pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran, padahal ekonomi belum pulih akibat pandemi Covid-19.

Untuk itu, Wakil Ketua Komisi IV Daniel Johan menginginkan ada kajian komprehensif yang mengutamakan kepentingan petani sebagai dasar pembuatan kebijakan pemerintah.

Baca juga: Tekan Keterjangkauan Rokok, Ekonom Usul Kebijakan Cukai Diiringi Penyederhanaan Cukai

Apalagi dampaknya besar bagi negara dan industri pertembakauan.

"Saya tentu menolak karena pertimbangan terhadap nasib jutaan tenaga kerja terutama petani yang harus kita lindungi. Pemerintah harus berhati-hati untuk mengambil kebijakan yang sifatnya strategis, apalagi kalau urusannya terkait dengan nasib petani, buruh dan pihak-pihak yang berhubungan dengan industri tembakau," kata Daniel melalui keterangan tertulis, Kamis (3/6/2021).

Rantai industri hasil tembakau, menurut dia, dari hulu ke hilir saling terhubung. Jika salah satu putus maka akan merusak tatanan industri itu sendiri.

"Yang rugi siapa, tentu negara karena menyebabkan penganguran jutaan orang secara sistematis," tuturnya.

Selain Daniel, anggota komisi IV DPR RI dari Fraksi Golkar Firman Soebagyo melihat, kesehatan memang penting tetapi tidak serta merta kematian berasal dari tembakau.

Baca juga: Tekan Jumlah Perokok, Gambar Peringatan di Bungkus Rokok akan Diperbesar jadi 90 Persen

Oleh karena itu terkait revisi PP 109, bentuk kehadiran negara harus memberikan rasa adil serta kepastian hukum kepada rakyatnya demi meningkatkan kesejahteraan petani tembakau.

"Apa artinya kalau industri hasil tembakau ini kemudian dimatikan dan tenaga kerjanya akan di-PHK? Indonesia itu adalah negara yang berdaulat maka kita tidak serta-merta bahwa harus menjalankan apa yang menjadi kemauan WHO. Karena WHO juga ada agenda-agenda terselubung dalam masalah persoalan IHT," ujar Firman.

Sebelumnya, Ketua Tobacco Control Support Center Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TCSC IAKMI) Sumarjati Arjoso menyebut revisi PP Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan tengah dikebut oleh Kementerian Kesehatan.

Menurut Riskesdas, saat ini tingkat prevalensi perokok anak mencapai 9,1 persen, meningkat bila dibandingkan 2013 yang ada pada angka 7,2 persen.

Rencana revisi PP 109 akan fokus pada perluasan gambar peringatan kesehatan dari 40 persen menjadi 90 persen, serta pelarangan total promosi dan iklan di berbagai media termasuk tempat penjualan.

Baca juga: Pengeluaran Rokok Orang RI Lebih Besar daripada Beli Beras

PP 109/2012 yang saat ini berlaku dinilai tidak cukup ketat dalam mengatur pengendalian produk rokok maupun pembatasan komunikasi produsen dengan konsumen.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kemenhub Fasilitasi Pemulangan Jenazah ABK Indonesia yang Tenggelam di Perairan Jepang

Kemenhub Fasilitasi Pemulangan Jenazah ABK Indonesia yang Tenggelam di Perairan Jepang

Whats New
Apa Pengaruh Kebijakan The Fed terhadap Indonesia?

Apa Pengaruh Kebijakan The Fed terhadap Indonesia?

Whats New
Gandeng Telkom Indonesia, LKPP Resmi Rilis E-Katalog Versi 6

Gandeng Telkom Indonesia, LKPP Resmi Rilis E-Katalog Versi 6

Whats New
Ekonomi China Diprediksi Menguat pada Maret 2024, tetapi...

Ekonomi China Diprediksi Menguat pada Maret 2024, tetapi...

Whats New
Berbagi Saat Ramadhan, Mandiri Group Berikan Santunan untuk 57.000 Anak Yatim dan Duafa

Berbagi Saat Ramadhan, Mandiri Group Berikan Santunan untuk 57.000 Anak Yatim dan Duafa

Whats New
Tarif Promo LRT Jabodebek Diperpanjang Sampai Mei, DJKA Ungkap Alasannya

Tarif Promo LRT Jabodebek Diperpanjang Sampai Mei, DJKA Ungkap Alasannya

Whats New
Bisnis Pakaian Bekas Impor Marak Lagi, Mendag Zulhas Mau Selidiki

Bisnis Pakaian Bekas Impor Marak Lagi, Mendag Zulhas Mau Selidiki

Whats New
Cara Reaktivasi Penerima Bantuan Iuran BPJS Kesehatan

Cara Reaktivasi Penerima Bantuan Iuran BPJS Kesehatan

Work Smart
Kehabisan Tiket Kereta Api? Coba Fitur Ini

Kehabisan Tiket Kereta Api? Coba Fitur Ini

Whats New
Badan Bank Tanah Siapkan Lahan 1.873 Hektar untuk Reforma Agraria

Badan Bank Tanah Siapkan Lahan 1.873 Hektar untuk Reforma Agraria

Whats New
Dukung Pembangunan Nasional, Pelindo Terminal Petikemas Setor Rp 1,51 Triliun kepada Negara

Dukung Pembangunan Nasional, Pelindo Terminal Petikemas Setor Rp 1,51 Triliun kepada Negara

Whats New
Komersialisasi Gas di Indonesia Lebih Menantang Ketimbang Minyak, Ini Penjelasan SKK Migas

Komersialisasi Gas di Indonesia Lebih Menantang Ketimbang Minyak, Ini Penjelasan SKK Migas

Whats New
Mulai Mei 2024, Dana Perkebunan Sawit Rakyat Naik Jadi Rp 60 Juta Per Hektar

Mulai Mei 2024, Dana Perkebunan Sawit Rakyat Naik Jadi Rp 60 Juta Per Hektar

Whats New
KA Argo Bromo Anggrek Pakai Kereta Eksekutif New Generation per 29 Maret

KA Argo Bromo Anggrek Pakai Kereta Eksekutif New Generation per 29 Maret

Whats New
Mudik Lebaran 2024, Bocoran BPJT: Ada Diskon Tarif Tol Maksimal 20 Persen

Mudik Lebaran 2024, Bocoran BPJT: Ada Diskon Tarif Tol Maksimal 20 Persen

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com