KOLOM BIZ
Konten ini merupakan kerja sama Kompas.com dengan Experd Consultant
Eileen Rachman dan Emilia Jakob
Character Building Assessment & Training EXPERD

EXPERD (EXecutive PERformance Development) merupakan konsultan pengembangan sumber daya manusia (SDM) terkemuka di Indonesia. EXPERD diperkuat oleh para konsultan dan staf yang sangat berpengalaman dan memiliki komitmen penuh untuk berkontribusi pada perkembangan bisnis melalui layanan sumber daya manusia.

Mengelola Amarah

Kompas.com - 05/06/2021, 08:04 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BULAN lalu, ketika suasana silaturahmi seharusnya terasa kental, kita dibuat tercengang dengan beberapa adegan kemarahan yang tidak terkontrol.

Ada ibu yang marah-marah ketika sebuah taman hiburan ditutup. Ada pula pengendara yang mengeluarkan kata-kata kasar, baik secara verbal maupun nonverbal, ketika diminta petugas untuk putar balik. Bahkan, sejumlah pengendara motor sampai mengeroyok petugas karena masalah tersebut. Kejadian ini tentu sangat memprihatinkan.

Sebenarnya, banyak di antara kita berempati dengan pemudik yang begitu berhasrat pulang kampung. Namun, sangat disayangkan bila penderitaan tersebut justru berubah menjadi kemarahan agresif.

Menghadapi kesulitan hidup yang berkepanjangan seperti pada situasi pandemi Covid-19 memang membuat orang jadi mudah merasa marah. Namun, kemarahan tidak bisa dilampiaskan, mengingat semua orang mengalami nasib yang sama.

Baca juga: Komunikasi, Madu atau Racun?

Sense of normality dan rutinitas yang terhenti membuat kita ingin memberontak. Tidak pelak, kadar kemarahan kita meningkat pada masa pandemi ini. Akibatnya, suasana menjadi semakin tegang. Frekuensi pertengkaran suami-istri, anak dengan orangtua, serta atasan-bawahan pun semakin meningkat.

Hal tersebut seolah-olah membuat kita seperti sudah terjatuh, tertimpa tangga pula. Sudah susah, semakin susah lagi.

Kemarahan adalah emosi yang vital

Bayangkan bila seseorang sepanjang hidupnya tidak pernah marah. Alangkah hambar perjalanan hidupnya.

Sebaliknya, bayangkan pula bila kita hidup dengan orang yang berkarakter “senggol bacok”. Setiap ada provokasi, emosinya cepat memuncak. Hal ini pun terasa mengganggu. Kita akan cepat merasa lelah karena terus-terusan menjaga kestabilan emosinya agar tidak terkena “hadiah” luapan amarah darinya.

Kemarahan sebetulnya berguna buat kita. Kemarahan bisa membuat kita sadar terhadap batas dan prinsip kita. Kita pun bisa tahu bahwa ada hal yang tidak sesuai dengan prinsip yang kita anut.

Di situlah sebenarnya alarm berbunyi bagi kita untuk melakukan dialog diri dan melakukan refleksi mengenai apa yang salah dengan diri kita. Kita bisa saja mengabaikan alarm rasa ini dan sedikit demi sedikit gejala ini memang mereda. Namun, kekesalan, konflik, atau kegeraman akan menumpuk di dalam benak.

Baca juga: Membentengi Integritas

Kemarahan itu layaknya pegas yang bisa kita tekan dan tahan. Namun, kekuatan menahan dan menekan bisa semakin pudar seiring waktu berjalan. Ketika sudah pudar, pegas tersebut bisa lepas dan melesat menghantam segala yang ada di depannya. Karena itu, tidak ada jalan lain selain mengolah rasa marah ini.

Dari jaringan otak ke ekspresi linguistik

Ketika terprovokasi oleh sesuatu hal yang membuat homeostatik kita terganggu, muncul proses-proses mental di otak yang menimbulkan kemarahan. Pada binatang, hal ini langsung memunculkan satu reaksi.

Hal tersebut berbeda dengan manusia. Pasalnya, pada otak manusia terdapat arousel component yang membuat kita seolah-olah meregang saraf serta cognitive component yang bisa meningkatkan perhatian kita pada ancaman dan menganalisisnya untuk menentukan bagaimana kita akan bereaksi terhadapnya.

Kedua komponen otak tersebut membuat manusia bisa memilih beragam reaksi dan bahkan tidak bereaksi sekalipun saat marah. Hal ini dinamakan anger regulation.

Seseorang yang terprovokasi dapat menunda kemarahannya dan berdiskusi dengan dirinya sendiri untuk mengatur reaksinya sebelum menyalurkan kemarahan dalam bentuk yang sama sekali berbeda.

Reaksi tersebut diambil berdasarkan pertimbangan yang menguntungkan dirinya. Inilah yang dinamakan low road of brain activity.

Adapun bahasa banyak berperan dalam ekspresi kemarahan. Dari analisis bahasa, seorang individu dapat menginterpretasikan kadar rasa marah lawan bicaranya.

Manusia juga dapat mengatur tata bahasanya sesuai dengan kadar kemarahannya. Manusia dapat membiasakan dirinya untuk tidak berkata kasar, sarkastis, dan sinis serta dapat mengatur kecepatan skala peningkatan emosi atau ekspresi kemarahannya. Rasa homeostatik ini juga dapat memengaruhi kondisi fisik dan mental, seperti motivasi, empati, adaptasi, dan bahkan wellbeing.

Mengelola rasa marah

Sebagai makhluk tertinggi di dunia, kita patut bersyukur karena memiliki kemampuan untuk mengatur kemarahan. Ketika situasi dan provokasi menyerang, kita
masih bisa menganalisis dan memilah sebelum memutuskan apakah kita akan langsung bereaksi, menyimpannya di dalam hati, atau bahkan berkompromi. Ketika ingin mengekspresikan rasa marah pun, kita masih bisa memilih bagaimana cara yang tepat untuk mengekspresikannya.

Eileen RachmanDok. EXPERD Eileen Rachman

Teknik jitu dalam mengatur emosi dapat dilakukan dengan metode RAIN yang merupakan kependekan dari recognize, accept, investigate, dan nurture.

Metode pertama adalah recognize. Anda harus bisa mengenali rasa marah, reaksi biologis yang muncul, dan mencari tahu penyebab kemarahan. Kemudian, pilah-pilah amarah yang mau ditanggapi dan yang mau diredam.

Kedua, accept. Pada tahapan ini, Anda diminta untuk menerima kenyataan tentang kemarahan yang dirasakan dan mengatakan pada diri sendiri bahwa kita memang memiliki hak untuk marah.

Ketiga, investigate. Teliti apa saja reaksi dalam tubuh ketika rasa marah muncul. Pahami rasa amarah yang sangat mengganggu dan mana yang bisa diredakan. Atur napas, berlatih menenangkan diri sambil memahami rasa marah ini.

Keempat, nurture the anger. Kita perlu berkawan dengan kemarahan. Kita harus belajar untuk bersikap positif pada diri kita sendiri sekalipun dalam keadaan marah. Kita juga perlu menghindari self-criticism dan menyalahkan diri sendiri pada saat marah. Orang yang bisa menghibur diri kita pada saat kita marah adalah diri kita sendiri. Bila kita mampu mengikuti irama emosi, amarah bisa mereda dengan halus bagaikan gelombang yang mendarat di pantai.

Menghadapi situasi pandemi ketika rasa marah dan frustrasi datang secara berkesinambungan, kegiatan pengelolaan emosi tersebut perlu secara rutin dilakukan.

Untuk mengurangi provokasi, kita perlu berfokus pada apa yang bisa kita lakukan dan bukan pada apa yang tidak bisa dilakukan. Olahraga teratur juga akan sangat membantu kita menguatkan kondisi fisik dan membangun emosi positif.


komentar di artikel lainnya
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com