Menurut perjanjian selama sepuluh tahun yang ditandatangani Dirut Garuda Wage Mulyono dan Dirut ABW Martini Nita Karyati tahun 1994, disebutkan pihak ABW akan menyetor minimal 10 persen dari pendapatan kotor, atau sekitar Rp 200 juta setiap bulan kepada Garuda.
Baca juga: Disebut Jadi Biang Kerok Krisis Garuda Indonesia, Apa Itu Lessor?
Dari data yang diperoleh, total pendapatan pada tahun 1995 sebesar Rp 28,5 miliar, tetapi yang disetor kepada Garuda Rp 3,1 miliar.
Sementara pendapatan Rp 105 miliar yang diperoleh dalam kurun waktu tahun 1996 hingga Mei 1998, Garuda kebagian Rp 39,6 miliar.
Proyek KKN berikutnya yang dihentikan penunjukannya oleh Kantor Tanri Abeng adalah broker asuransi pesawat terbang PT Bimantara Graha Insurance Broker yang didirikan Bambang Trihatmodjo pada tahun 1994.
Perusahaan itu pernah digugat karyawan Garuda karena diduga keras sangat berbau KKN. Sebelum keluarga Cendana dengan perusahaan asuransinya masuk, Garuda Indonesia bebas menentukan broker asuransi bagi armada pesawatnya.
Baca juga: Selundupkan Harley, Mantan Bos Garuda Indonesia Dituntut 1 Tahun Penjara
Namun, kemudian Garuda mendapat tekanan dan harus melalui perusahaan putra mantan Presiden Soeharto.
Putra-putra Soeharto jauh sebelumnya pada era Dirut Wiweko Soepono pernah datang ke Garuda Indonesian Airways menawarkan jasa asuransi.
Tetapi, waktu itu Wiweko masih bisa menolak mentah-mentah. Ia menasihatkan agar belajar dulu mengenai perasuransian yang ingin ditawarkan tersebut.
Kantor Menteri Negara Pendayagunaan BUMN menyebutkan, proyek lain adalah pembelian (sewa operasi) pesawat MD-11 yang pengadaannya melibatkan Bimantara-nya Bambang Trihatmodjo.
Baca juga: Sederet Penyebab Krisis Keuangan Garuda Indonesia
Menurut catatan Kompas, harga sewa pesawat badan lebar buatan McDonnell Douglas (kemudian merger dengan Boeing) ini cukup tinggi, 1,1 juta dollar AS/pesawat/bulan atau 6,6 juta dollar AS per bulan untuk keenam MD-11 yang dioperasikan Garuda.
Sementara harga sewa pesawat tersebut sebenarnya bisa diperoleh lebih murah, sekitar 600.000 - 700.000 dollar AS per pesawat.
"Jadi ada mark-up dalam pengadaan armada MD-11 Garuda Indonesia," ungkap sumber Kompas.
Dengan harga sewa tersebut dan dihantam krisis moneter/ ekonomi, sewa-operasinya dirasa sangat memberatkan keuangan Garuda.
Baca juga: Menyelisik Biang Utama Garuda Berpotensi Bangkrut
Direksi Garuda, sebelum Robby Djohan ditunjuk, tampaknya agak ragu mengambil keputusan untuk mengembalikan MD-11 kepada lessor-nya.
Saat Dirut Garuda dijabat Soepandi, memang menyebutkan akan mengembalikan pesawat trijet MD-11 tersebut kepada Boeing.