Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Saat Korupsi Gerogoti Garuda Indonesia di Era Orde Baru

Kompas.com - 06/06/2021, 11:50 WIB
Muhammad Idris

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Berstatus BUMN, nasib PT Garuda Indonesia Tbk (Persero) berada di ambang kebangkrutan. Kondisi keuangan maskapai flag carrier ini tengah berdarah-darah.

Selain terjerat utang menggunung hingga Rp 70 triliun, perusahaan juga menderita kerugian. Pandemi Covid-19 yang diperkirakan masih akan berlangsung lama, bakal membuat kinerja keuangan Garuda Indonesia semakin babak belur.

Menteri BUMN Erick Thohir membeberkan, salah satu yang memberatkan kinerja keuangan Garuda Indonesia adalah kesepakatan harga sewa pesawat dari para lessor.

Bahkan, menurut Erick Thohir, ada indikasi korupsi dalam negosiasi harga sewa pesawat. Praktik ini bisa saja terjadi karena ada kongkalikong antara perusahaan penyewa dalam hal ini Garuda, dengan pihak lessor.

Baca juga: Asal Usul Nama Garuda Indonesia

Pihaknya akan melakukan negosiasi keras terhadap para lessor atau pemberi sewa ke Garuda Indonesia yang sudah masuk dan bekerja sama dalam kasus yang dibuktikan koruptif.

Erick Thohir mengatakan sejak awal Kementerian BUMN meyakini salah satu masalah terbesar di Garuda Indonesia mengenai lessor. Di Garuda Indonesia ada 36 lessor yang memang harus dipetakan ulang, mana saja lessor yang sudah masuk kategori dan bekerja sama di kasus yang sudah dibuktikan koruptif.

"Ini yang pasti kita bakal standstill, bahkan negosiasi keras dengan mereka," ujar Erick Thohir dikutip dari Antara, Minggu (6/6/2021).

Korupsi Garuda di era Orde Baru

Krisis yang terjadi pada Garuda Indonesia ini mengingatkan pada usaha yang dilakukan Menteri Pendayagunaan BUMN Tanri Abeng yang menjabat tahun 1998-1999.

Baca juga: Sejarah Garuda Indonesia, Bermula dari Sumbangan Emas Rakyat Aceh

Sempat mengalami masa keemasan pada tahun 1980-an saat dipimpin Wiweko Soepono, Garuda pada tahun-tahun berikutnya mengalami kemerosotan karena praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN).

Seperti diberitakan Harian Kompas, 10 September 1998, KKN begitu menggerogoti dua maskapai penerbangan pelat merah, yaitu Garuda Indonesia dan Merpati.

Tanri Abeng membeberkan, khusus di BUMN Garuda Indonesia, dapat dihemat sekitar 18,27 juta dollar AS per tahun atau sekitar Rp 27,1 miliar per tahun apabila delapan kerja sama operasi (KSO) berbau KKN di lingkungan Garuda dihilangkan.

Menurut dia, ada delapan kerja sama operasi (KSO) yang menimbulkan ekonomi biaya tinggi dalam pengadaan barang dan jasa di lingkungan Garuda selama rezim Orde Baru atau Orba.

Baca juga: Peter Gontha Sebut CT Rugi Rp 11,2 Triliun di Garuda Indonesia

Kerja sama memberatkan Garuda

Pertama, yakni pengalihan pengelolaan gudang kargo kepada PT Angkasa Bina Wiwesa (ABW). ABW, menurut catatan Kompas, merupakan usaha milik adik mantan Presiden Soeharto dari lain ibu satu bapak, Martini Tubagus Sulaeman.

Dari pengelolaan pergudangan di Bandara Soekarno-Hatta itu, pihak ABW setiap bulan dapat meraup pendapatan Rp 6 miliar, tetapi hanya Rp 300 juta yang diterima Garuda Indonesia.

Sedangkan biaya operasional, pemakaian gedung, telepon, dan listrik dibebankan kepada Garuda.

Menurut perjanjian selama sepuluh tahun yang ditandatangani Dirut Garuda Wage Mulyono dan Dirut ABW Martini Nita Karyati tahun 1994, disebutkan pihak ABW akan menyetor minimal 10 persen dari pendapatan kotor, atau sekitar Rp 200 juta setiap bulan kepada Garuda.

Baca juga: Disebut Jadi Biang Kerok Krisis Garuda Indonesia, Apa Itu Lessor?

Dari data yang diperoleh, total pendapatan pada tahun 1995 sebesar Rp 28,5 miliar, tetapi yang disetor kepada Garuda Rp 3,1 miliar.

Sementara pendapatan Rp 105 miliar yang diperoleh dalam kurun waktu tahun 1996 hingga Mei 1998, Garuda kebagian Rp 39,6 miliar.

Masuknya Bimantara

Proyek KKN berikutnya yang dihentikan penunjukannya oleh Kantor Tanri Abeng adalah broker asuransi pesawat terbang PT Bimantara Graha Insurance Broker yang didirikan Bambang Trihatmodjo pada tahun 1994.

Perusahaan itu pernah digugat karyawan Garuda karena diduga keras sangat berbau KKN. Sebelum keluarga Cendana dengan perusahaan asuransinya masuk, Garuda Indonesia bebas menentukan broker asuransi bagi armada pesawatnya.

Baca juga: Selundupkan Harley, Mantan Bos Garuda Indonesia Dituntut 1 Tahun Penjara

Namun, kemudian Garuda mendapat tekanan dan harus melalui perusahaan putra mantan Presiden Soeharto.

Putra-putra Soeharto jauh sebelumnya pada era Dirut Wiweko Soepono pernah datang ke Garuda Indonesian Airways menawarkan jasa asuransi.

Tetapi, waktu itu Wiweko masih bisa menolak mentah-mentah. Ia menasihatkan agar belajar dulu mengenai perasuransian yang ingin ditawarkan tersebut.

Mark-up pesawat

Kantor Menteri Negara Pendayagunaan BUMN menyebutkan, proyek lain adalah pembelian (sewa operasi) pesawat MD-11 yang pengadaannya melibatkan Bimantara-nya Bambang Trihatmodjo.

Baca juga: Sederet Penyebab Krisis Keuangan Garuda Indonesia

Menurut catatan Kompas, harga sewa pesawat badan lebar buatan McDonnell Douglas (kemudian merger dengan Boeing) ini cukup tinggi, 1,1 juta dollar AS/pesawat/bulan atau 6,6 juta dollar AS per bulan untuk keenam MD-11 yang dioperasikan Garuda.

Sementara harga sewa pesawat tersebut sebenarnya bisa diperoleh lebih murah, sekitar 600.000 - 700.000 dollar AS per pesawat.

"Jadi ada mark-up dalam pengadaan armada MD-11 Garuda Indonesia," ungkap sumber Kompas.

Dengan harga sewa tersebut dan dihantam krisis moneter/ ekonomi, sewa-operasinya dirasa sangat memberatkan keuangan Garuda.

Baca juga: Menyelisik Biang Utama Garuda Berpotensi Bangkrut

Direksi Garuda, sebelum Robby Djohan ditunjuk, tampaknya agak ragu mengambil keputusan untuk mengembalikan MD-11 kepada lessor-nya.

Saat Dirut Garuda dijabat Soepandi, memang menyebutkan akan mengembalikan pesawat trijet MD-11 tersebut kepada Boeing.

Namun, pelaksanaannya baru dilakukan bulan Juli berikutnya oleh direksi di bawah Robby Djohan yang ingin secepatnya menekan angka kerugian.

Disebut pula oleh kantor Menneg Pendayagunaan BUMN tentang pembatalan kontrak kargo di Australia dan Amerika.

Kemudian penghentian keagenan untuk perawatan mesin dan modul mesin pesawat dan pembatalan pembelian pesawat Fokker F-100 dan peninjauan kembali kontrak keagenan di Jepang.

Baca juga: Utang Garuda Indonesia Membengkak Rp 70 Triliun, DPR Minta Audit Laporan Keuangan

Menurut catatan Kompas, kontrak kargo dan keagenan di Jepang melibatkan grup Bimantara.

Selain yang disebut Kantor Tanri Abeng, Kompas juga mencatat bahwa ada unsur mark-up dan KKN dalam pengadaan simulator Boeing 737-300/400 Garuda Indonesia.

Dari pengusutan Itjen Departemen Perhubungan, diketahui ada selisih sebesar 12,2 juta dollar AS untuk pengadaan simulator tersebut. Harga disebut 64,1 juta dollar, padahal simulator yang sama bisa dibeli sekitar 51,9 juta dollar AS.

Cucu Soeharto pun ikut

Masih di sekitar Garuda tapi tidak disebut kantor Menneg Pendayagunaan BUMN, yakni perusahaan yang disebut-sebut milik Ary Sigit, putra Sigit Harjojudanto atau cucu mantan Presiden Soeharto.

Baca juga: Bagaimana Garuda Keluar dari Lilitan Utang Menggunung dan Rugi Jumbo?

PT Autotrans Indonesia yang bergerak dalam bidang ground handling di Bandara Ngurah Rai, Bali. Perusahaan ini, menurut karyawan Garuda, dituding mendapat kontrak secara tidak wajar.

Tawaran kontrak perusahaan ini sempat ditolak karena terlalu mahal. Tetapi, sebelum putusan final diambil, Garuda mendapat telepon dari seorang petinggi negara yang menyebutkan agar menerima tawaran Autotrans.

Menurut catatan, Hutomo Mandala Putra yang akrab dipanggil dengan Tommy dengan PT Artasaka Nusaphala-nya juga ikut "bermain" di Garuda Indonesia, yakni saat BUMN ini akan menyewakan sejumlah Fokker F-28 kepada anak perusahaannya Merpati Nusantara.

Entah bagaimana, akhirnya pesawat dijual kepada Artasaka Nusaphala yang kemudian menawarkan pesawat tersebut kepada Merpati, tetapi ditolak oleh Dirut Ridwan Fataruddin dengan alasan harga sewa terlalu mahal.

Baca juga: Akankah Nasib Garuda Indonesia Sama seperti Merpati Airlines?

Kemudian, Artasaka Nusaphala mencoba masuk Merpati dengan menawarkan pesawat CN-235 buatan IPTN. Itu pun ditolak Ridwan Fataruddin karena dinilai harga sewa 110.000 dollar AS per bulan terlalu mahal.

Kesanggupan Merpati saat itu, menurut Ridwan, hanya 60.000 dollar AS atau maksimum 70.000 dollar AS per bulan.

Karena keberaniannya menampik tawaran-tawaran tersebut, Ridwan Fataruddin harus membayar mahal, ia digeser dari pucuk pimpinan Merpati Nusantara.

Unsur KKN juga menyentuh sampai ke bagian katering Garuda, Angkasa Citra Sarana, yakni di mana salah seorang dari keluarga Cendana mempunyai akses memasok sejumlah makanan dan minuman bagi dapur Garuda tersebut.

Baca juga: Hadapi Situasi Sulit, Dirut Garuda Indonesia: Kami Fokus Pemulihan Kinerja

Barang yang dipasok adalah minuman anggur dan daging ayam.

Begitu berpengaruhnya grup Bimantara dalam bidang kargo Garuda di Jepang sehingga pernah salah seorang pimpinan Garuda Indonesia di Negeri Sakura itu minta dipulangkan ke Jakarta.

Dia minta diganti dengan orang lain karena ada ketidakcocokan antara orang tersebut dengan grup ini.

Baca juga: PG Colomadu, Simbol Kekayaan Raja Jawa-Pengusaha Pribumi era Kolonial

Sumber: Harian Kompas

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com