Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Seputar Pajak Sembako, Kekesalan Pedagang, dan Pembelaan Pemerintah

Kompas.com - 10/06/2021, 06:30 WIB
Fika Nurul Ulya,
Bambang P. Jatmiko

Tim Redaksi

Selain pedagang pasar dan masyarakat, pajak sembako lantas disoroti ekonom. Direktur Riset CORE Indonesia, Piter Abdullah mengaku, sembako yang dijadikan objek pajak baru akan mengikis daya beli masyarakat.

Bagaimana tidak? Masyarakat begitu tergantung dengan sembako, khususnya ibu rumah tangga yang saban hari berkunjung ke warung dan tukar sayur untuk memenuhi pangan keluarga.

Namun demikian, masih ada kemungkinan pemerintah akan menurunkan pajak untuk barang-barang esensial yang banyak dibutuhkan, lantaran skema multitarif menjadi salah satu opsi yang digaungkan.

Baca juga: Sri Mulyani Bakal Kenakan Pajak Minimum 1 Persen untuk Perusahaan Merugi

Dengan skema ini, barang kebutuhan masyarakat akan dipajaki lebih rendah, sedangkan barang mewah yang umumnya dikonsumsi masyarakat menengah atas bakal dipajaki lebih tinggi.

Staf khusus menteri keuangan Yustinus Prastowo dalam satu kesempatan sempat menyebut, barang yang banyak dibutuhkan warga bisa lebih rendah tarifnya, mungkin turun sekitar 5-7 persen dari yang saat ini 10 persen.


"Pemerintah pasti tahu bahwa kenaikan PPN akan menghantam daya beli dan konsumsi. Jadi bisa berdampak negatif ke pemulihan ekonomi. Tentunya ini dihindari," kata Piter saat dihubungi Kompas.com, Rabu (9/6/2021).

Untungnya sembako dipajaki

Beberapa pihak menilai, pemajakan sembako memiliki keuntungan. Pengamat Pajak Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Darussalam mengatakan, salah satu keuntungannya adalah menurunnya belanja pajak (tax expenditure).

Berdasarkan laporan belanja pajak yang dirilis tahun 2020 lalu, belanja pajak dari kebijakan pengecualian PPN mencapai Rp 73,4 triliun (2019), atau sekitar 29 persen dari seluruh total belanja pajak Indonesia.

Lebih rinci, jumlah belanja pajak dari pengecualian PPN atas barang kebutuhan pokok adalah yang terbesar yakni sebesar Rp 29 triliun.

Artinya, penghapusan pengecualian tarif PPN untuk barang tertentu termasuk sembako mampu menurunkan belanja pajak nasional.

Lagipula kata Darussalam, pengecualian PPN bisa mendistorsi dan mengurangi netralitas dari sistem PPN. Selain itu, dapat berdampak bagi kinerja optimalisasi PPN.

Baca juga: Simak, Ini Cara Menghitung Besaran Pajak Progresif Kendaraan Bermotor

"Oleh karena itu tidak mengherankan jika OECD, World Bank, dan IMF merekomendasikan Indonesia untuk bisa mengurangi jumlah barang/jasa yang dikecualikan dari PPN. Kebijakan ini juga menjadi bagian dari strategi broadening tax base," ucap Darussalam kepada Kompas.com.

Alih-alih mengecualikan pajak untuk sembako yang bisa dinikmati pula oleh kalangan masyarakat mampu, Darussalam lebih menyarankan pemerintah menggenjot ragam bantuan sosial (bansos) dan subsidi lain yang sudah eksplisit kepada wong cilik.

"Dengan demikian, kebijakannya lebih tepat sasaran sekaligus bisa mengendalikan belanja perpajakan yang polanya terus meningkat antarwaktu," sarannya.

Janji pemerintah banjiri bansos

Seolah satu garis, Yustinus menyampaikan, pemerintah akan memperkuat bantuan sosial (bansos) untuk masyarakat miskin dan rentan miskin bila sembako dikenakan tarif PPN.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com