Disebutnya, kebijakan penyaluran bansos lebih adil daripada mengecualikan tarif PPN untuk sembako yang bisa dinikmati semua kalangan. Penguatan bansos pun jadi lebih tepat sasaran, karena semakin banyak bantuan yang diarahkan ke orang yang berhak secara langsung.
"Maka jadi relevan: bandingkan potensi bertambahnya pengeluaran dengan PPN, dengan bansos yang diterima rumah tangga," kicau Yustinus dalam akun Twitternya dikutip Kompas, Kamis (10/6/2021).
Sejauh ini, pengecualian PPN untuk sembako dan jasa yang luar biasa banyak lainnya memang terbukti membuat penerimaan pajak negara jadi tak optimal.
Selain tak tepat sasaran, RI disebut-sebut menjadi negara dengan fasilitas pengecualian terbanyak. Kalau tak percaya, dia bilang, coba bandingkan dengan berbagai negara seperti Thailand, Singapura, India, dan China.
Di Singapura, pengecualian pajak hanya diberikan untuk properti tempat tinggal, logam berharga, barang untuk keperluan investasi, jasa keuangan, dan sewa properti tempat tinggal.
Sementara Thailand, barang pertanian, peternakan, perikanan, koran dan buku, pupuk, jasa kesehatan, angkutan umum, dan leasing properti.
Baca juga: Kemenkeu: Kenaikan Tarif Pajak Bakal Perhitungkan Dampak Ekonomi
Jika dibandingkan dengan negara yang disebutkan, China menjadi negara dengan pengecualian pajak paling sedikit, yakni hanya di Zona Ekonomi Spesial (Special Economic Zone).
"Pengaturan yang demikian justru menjadikan tujuan pemajakan tidak tercapai. Yang mampu membayar pajak tak membayar karena mengonsumsi barang/jasa yang tidak dikenai PPN. Ini fakta," jelas Yustinus.
Selain menjanjikan bansos lebih optimal, Yustinus juga menjanjikan bahwa pemerintah tak akan membabi buta menambah objek pajak saat pemulihan ekonomi masih berlangsung.
Kebijakan pajak yang baru membuat orang yang mampu menyubsidi pajak orang yang kurang mampu sehingga terjadi gotong royong. Sebab bila pajak disamaratakan untuk semua warga, maka Indonesia menjadi terlalu baik.
Saking baiknya, banyak barang dan jasa yang dikecualikan atau mendapat fasilitas tanpa mempertimbangkan jenis, harga, dan kelompok yang mengonsumsi. Baik beras, minyak goreng, atau jasa kesehatan dan pendidikan, semua bebas tanpa pajak.
"Tapi kok sembako dipajaki? Pemerintah kalap butuh duit ya? Kembali ke awal, enggak ada yang tak butuh uang, apalagi akibat hantaman pandemi. Tapi dipastikan pemerintah tak akan membabi buta. Konyol kalau pemulihan ekonomi yang diperjuangkan mati-matian justru dibunuh sendiri," tandasnya.
Pemerintah memastikan, penerapan kebijakan baru akan bertahap dan menunggu ekonomi pulih dari pandemi. Beberapa waktu lalu dia pernah berkata, kebijakan mungkin akan berlaku pada 1-2 tahun mendatang.
Baca juga: Setoran Pajak Perusahaan Digital Capai Rp 2 Triliun
"Bukan berarti akan serta merta diterapkan di saat pandemi. Ini poin penting: timing. Bahwa penerapannya menunggu ekonomi pulih dan bertahap, itu cukup pasti. Pemerintah dan DPR memegang ini," tegas Yustinus.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.