Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Penyakit Lama Garuda: Terbangi Rute Internasional yang Sepi Penumpang

Kompas.com - 10/06/2021, 09:26 WIB
Muhammad Idris

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Berstatus BUMN, nasib PT Garuda Indonesia Tbk (Persero) berada di ambang kebangkrutan. Penyebabnya utang menggunung hingga Rp 70 triliun dan terus menerus mencetak rugi.

Pandemi Covid-19 yang diperkirakan masih akan berlangsung lama, bakal membuat kinerja keuangan Garuda Indonesia semakin babak belur. Ada banyak faktor penyebab kerugian maskapai flag carrier ini.

Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo, membeberkan salah satu faktor utama kerugian Garuda Indonesia, yakni banyak membuka rute-rute penerbangan ke luar negeri meski tingkat okupansi penumpang yang rendah.

"Rute-rutenya banyak diterbangi tidak profitable. Sebenarnya dalam negeri tahun lalu 2019 sebelum Covid-19 untung, tapi ke luar negerinya rugi. Nah ini memang penyakit lama," kata Kartika dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VI DPR RI, seperti dikutip pada Kamis (10/6/2021).

Baca juga: Asal Usul Nama Garuda Indonesia

Lantaran membuka rute luar negeri, konsekuensinya Garuda Indonesia harus memiliki armada pesawat berbadan besar seperti Boeing 777 dan Airbus 330, yang tentu membebani arus kas perusahaan.

Dilihat dari laman resmi Garuda Indonesia, maskapai ini membuka beberapa rute internasional seperti tujuan Australia. Beberapa kota yang dilayani yakni Melbourne, Perth, dan Sydney.

Lalu tujuan Asia Timur antara lain Beijing, Guangzhou, Hong Kong, Seoul, Shanghai, dan Tokyo. Rute luar negeri lainnya seperti Kuala Lumpur, Singapura, dan Bangkok.

Garuda Indonesia bahkan berani unjuk gigi membuka rute ke Eropa dengan penerbangan langsung Jakarta-Amsterdam.

Baca juga: Biang Kerok Rugi Garuda: Sewa Pesawat Lebih Mahal dari Maskapai Lain

Rute-rute ke luar negeri ini terbilang sangat sengit dari sisi persaingan karena harus berkompetisi dengan maskapai-maskapai besar dunia, terutama dari Timur Tengah.

"Kita mempunyai pesawat sebagai contoh ada Boeing 737, 777, A320, A330, ada ATR, dan Bombardier. Sehingga memang efisiensinya jadi bermasalah," jelas Kartika.

"Memang permasalahan Garuda ada di masa lalu, karena leasing-leasing-nya melebihi cost yang wajar dan memang jenis pesawatnya terlalu banyak," kata dia lagi.

Laporan keuangan

Mantan Dirut Bank Mandiri ini juga menyinggung penyajian laporan keuangan di masa lalu yang dinilainya kurang relevan. Kartika bilang, sebelumnya Garuda tidak memasukan beban sewa pesawat (leasing) sebagai utang perusahaan dalam laporan keuangannya.

Baca juga: Saat Korupsi Gerogoti Garuda Indonesia di Era Orde Baru

Padahal seharusnya, beban komponen sewa pesawat seharusnya diakui sebagai utang dalam pencatatan neraca laporan keuangan sesuai Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) yang berlaku.

"Nah ini memang penyakit lama. Setelah Covid-19 ada permasalahan baru, yaitu perubahan pengakuan kewajiban. Di mana operasional lease yang tadinya dicatat sebagai opex (operating expense), kemudian dicatat utang," terang Kartika.

Akibat dari perubahan pencatatan ini, utang perusahaan langsung membengkak menjadi Rp 70 triliun dan rasio ekuitas sudah minus.

"Sehingga utang yang tadinya Rp 20 triliun jadi Rp 70 triliun yang memang secara PSAK diharuskan dicatat sebagai kewajiban. Dan ini membuat posisi Garuda secara neraca ini karena antara hutang ekuitas sudah tidak memadai untuk mendukung neracanya," beber Kartika.

Baca juga: Masa Pandemi, Garuda Indonesia Operasikan Hanya 53 Pesawat


 

Bermasalah dengan lessor

Kartika berujar Garuda Indonesia juga menyewa pesawat terlalu banyak namun tak diimbangi dengan okupansi penumpang yang mencukupi. Kondisi ini membuat Garuda sulit membayar tagihan sewa pesawat ke pihak lessor.

"Memang jenis pesawat yang di sewa di masa lalu itu terlalu banyak dan sewanya kemahalan. Ini tentunya penyakit masa lalu Garuda, di mana cost structure-nya (struktur biaya) jauh melebihi dari maskapai-maskapai sejenis," ungkap Kartika dalam acara Business Talk Kompas TV.

Ia berujar, solusi dari Kementerian BUMN adalah meminta Garuda Indonesia menegosiasikan ulang perjanjian sewa pesawat dengan perusahaan-perusahaan lessor.

"Tentunya dengan kondisi Covid-19, pendapatan (Garuda Indonesia) menurun dan kondisi ini sudah berjalan setahun lebih. Oleh karena itu, memang selama ini yang dilakukan adalah penundaan pembayaran. Jadi sebenarnya, kalau kami mau jujur, dari dulu sudah banyak yang enggak dibayar kewajibannya," kata Kartika.

Baca juga: Garuda Indonesia Nunggak Gaji Karyawan Rp 327,8 Miliar, Ini Rinciannya

Beberapa waktu belakangan kondisi Garuda Indonesia memang semakin memburuk, lantaran lessor yang ditunda pembayarannya akhirnya menarik pesawat. Sehingga tak aneh jika sempat beredar di media sosial tentang perubahan call sign di pesawat Garuda Indonesia dari PK (Indonesia) menjadi VQ (Bermuda).

Ia mengungkapkan, saat ini memang sudah banyak pesawat Garuda Indonesia yang di grounded oleh para lessor dan tidak bisa lagi dipakai. Sehingga saat ini maskapai pelat merah tersebut beroperasi dengan jumlah pesawat yang minimum.

"Jadi lessor ini punya hak buat grounded pesawat yang tidak di bayar kewajiban leasing-nya. Saat ini sudah banyak pesawat yang di-grounded oleh lessor-lessor ini, sehingga saat ini Garuda beroperasi minimum dengan 50 pesawat," ungkapnya.

Kondisi kritis tersebut membuat Kementerian BUMN memutuskan mengambil tindakan drastis dengan melakukan restrukturisasi utang secara dalam. Sebab jika tidak, Garuda Indonesia akan berhenti beroperasi karena arus kas (cash flow) yang sangat terbatas, bahkan minus setiap bulannya.

Baca juga: Garuda Indonesia Kembalikan Pesawat ke Penyewa, Call Sign Berubah dari PK ke VQ

Berdasarkan data Kementerian BUMN, beban biaya Garuda Indonesia mencapai 150 juta dollar AS per bulan, namun pendapatan yang dimiliki hanya 50 juta dollar AS. Artinya perusahaan merugi 100 juta dollar AS atau sekitar 1,43 triliun (kurs Rp 14.300 per dollar AS) setiap bulannya.

"Jadi sekarang kami sedang lakukan kajian-kajian, dan melibatkan para adviser bagaimana tindakan-tindakan yang bisa kami lakukan bersama kreditur dan lessor," kata Kartika.

Lessor nakal

Sebelumnya, Menteri BUMN Erick Thohir menyebutkan ada indikasi lessor nakal yang memberikan tarif sewa lebih mahal pada Garuda Indonesia dibandingkan tarif pasaran.

Praktik ini bisa saja terjadi karena ada kongkalikong antara perusahaan penyewa dengan lessor.

Baca juga: Sejarah Garuda Indonesia, Bermula dari Sumbangan Emas Rakyat Aceh

Pihaknya akan melakukan negosiasi keras terhadap para lessor atau pemberi sewa ke Garuda Indonesia yang sudah masuk dan bekerja sama dalam kasus yang dibuktikan koruptif.

Erick Thohir mengatakan sejak awal Kementerian BUMN meyakini salah satu masalah terbesar di Garuda Indonesia mengenai lessor. Di Garuda Indonesia ada 36 lessor yang memang harus dipetakan ulang, mana saja lessor yang sudah masuk kategori dan bekerja sama di kasus yang sudah dibuktikan koruptif.

"Ini yang pasti kita bakal standstill, bahkan negosiasi keras dengan mereka," ujar Erick Thohir dikutip dari Antara.

Namun ia juga mengakui bahwa ada lessor yang tidak ikut atau terlibat kasus yang terbukti koruptif.

"Tetapi pada hari ini kemahalan mengingat kondisi sekarang, itu yang kita juga harus lakukan negosiasi ulang. Beban terberat saya rasa itu," kata Erick Thohir.

Baca juga: Daftar 7 BUMN Terbesar di Indonesia dari Sisi Aset, Siapa Juaranya?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com