Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

[TREN EKONOMI KOMPASIANA] Mobil Seken, Mengapa Harga Tunai Lebih Mahal dari Kredit? | Motivasi Mengajukan Kredit dan "Rahasia" di Balik Ruang Kredit

Kompas.com - 10/06/2021, 11:33 WIB
Harry Rhamdhani

Penulis

KOMPASIANA---Membeli sebuah kendaran untuk memenuhi keperluan sehari-hari perlu dipertimbangkan dengan baik.

Salah satu yang umum menjadi pertimbangan adalah membeli secara tunai atukah kredit.

Membeli secara tunai tentunya akan memakan beban biaya yang besar di awal. Namun tidak untuk kemudian.

Berbeda dengan membeli secara kredit, biaya yang dikeluarkan di awal memang tidak menjadi beban, hanya saja harga menjadi lebih besar secara akumulasi.

Tetapi, bagaimana jadinya bila membeli kendaraan secara tunai lebih mahal harganya ketimbang membeli secara kredit?

Pertanyaan tersebut akan dibahas melalui artikel di bawah ini. Selain itu ada juga pembahasan seputar faktor pendorong seseorang mengajukan kredit serta kondisi bisnis pariwisata pada periode high season seperti saat ini.

Berikut konten-konten menarik dan populer kanal Ekonomi di Kompasiana:

1. Mobil Seken, Mengapa Harga Tunai Lebih Mahal dari Kredit?

Umumnya harga tunai lebih murah dari harga kredit. Namun berdasarkan pengalaman Kompasianer Irwan Rinaldi hal itu justru sebaliknya.

Dia menceritakan sebuah mobil seken apabila dibeli secara tunai jatuh lebih tinggi ketimbang kredit.

Jika membeli secara kredit mobil itu dilepas seharga Rp 152 juta. Tapi itu di luar bunga bank atau bunga dari perusahaan leasing yang memberikan kredit. Sedangkan membayar tunai, pedagang memberi harga Rp 165 juta.

"Ternyata, pedagang dapat bonus dari bank atau perusahaan leasing yang bekerjasama dengannya," tulisnya. (Baca selengkapnya)

2. Motivasi Mengajukan Kredit dan "Rahasia" di Balik Ruang Kredit yang Tak Diketahui Nasabah

Kompasianer Adolf Isaac Deda berpendapat bahwa impian memiliki kendaraan, stok dana untuk berbagai kebutuhan, properti, dan sejumlah keinginan lain akan barang dan jasa, menjadikan kredit sebagai solusinya.

Dia juga menjabarkan sejumlah alasan menjadi pendorongnya. Pertama, usia produktif dan kesehatan.

"Ini bagi mereka yang tergolong masih muda, punya mobilitas tinggi dan kondisi kesehatan masih prima. Lagi pula pilihan untuk bekerja di berbagai sektor masih terbuka lebar bila ditinjau dari batasan usia yang dipersyaratkan," tulisnya.

Kedua adalah faktor penghasilan yang tidak menjangkau harga barang atau properti. (Baca selengkapnya)

3. Bisnis Wisata, "High Season" dan Musim yang Berganti

Puncak musim liburan umumnya dikenal luas dengan sebutan 'high season', yaitu periode paling sibuk mulai medio Juni hingga Agustus yang bertepatan dengan musim panas.

Sedangkan di Indonesia sendiri, musim puncak liburan mengacu ke tiga periode liburan, yakni libur Idulfitri, libur sekolah, dan libur nataru. Pada periode liburan inilah, wisatawan asal Indonesia biasanya melakukan perjalanan wisata.

Kendati begitu, belum ada perubahan berarti dalam semua lini bisnis pariwisata ini. Maskapai penerbangan internasional masih kesulitan mendongkrak jumlah penumpang sehingga terpaksa harus mempensiunkan dini. (Baca selengkapnya) (IBS)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com