Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Asosiasi Petani Tebu Minta Rencana PPN untuk Sembako Dikaji Ulang

Kompas.com - 11/06/2021, 12:34 WIB
Elsa Catriana,
Ambaranie Nadia Kemala Movanita

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com – Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) secara tegas menolak rencana pemerintah mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) pada bahan pokok (sembako) yang tertuang dalam revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

Sekjen DPN APTRI M Nur Khabsyin meminta kebijakan itu dikaji ulang karena akan memberatkan kehidupan petani.

"Saya kira perlu dikaji ulang. Apalagi saat ini masa pandemi dan situasi perekonomian sedang sulit. Ini akan berimbas ke seluruh Indonesia dan membuat gaduh masyarakat, terutama masyarakat petani," kata Khabsyin kepada Kompas.com, Jumat (11/6/2021).

Baca juga: PPN Mobil Diskon tapi Sembako Dipajaki, Sri Mulyani: Teknik Hoaks yang Bagus

Dalam draf beleid tersebut, komoditas gula konsumsi menjadi salah satu barang kebutuhan pokok yang dihapus dalam kelompok jenis barang yang tidak dikenai PPN.

Dengan penghapusan itu, berarti gula konsumsi akan dikenakan PPN.

Padahal, lanjut Khabsyin, sebelum 2017, gula konsumsi sudah dikenakan PPN, tetapi petani tebu protes melalui unjuk rasa di Jakarta.

Sehingga, sejak 1 September 2017, gula konsumsi dibebaskan dari PPN.

"Saat itu jugalah petani beralasan bahwa gula adalah termasuk bahan pokok kenapa kena PPN, sedangkan beras bebas dari PPN," kata Khabsyin.

Baca juga: Sembako Kena Pajak, KSPI: Buruh Bakal Maju Paling Depan

Selain itu, Khabsyin juga menilai, apabila PPN tetap diberlakukan, dipastikan akan merugikan semua petani tebu yang ada di Tanah Air.

Sebab, pengenaan PPN terhadap gula konsumsi pada ujungnya akan menjadi beban petani sebagai produsen.

“Pedagang akan membeli gula tani dengan memperhitungkan beban PPN yang harus dibayarkan. Ini tentu akan berdampak pada harga jual gula tani,” ucap dia.

Khabsyin mencontohkan saat ini harga jual gula ditingkat petani hanya laku Rp 10.500 per kilogram.

Apabila dikenakan PPN 12 persen, maka yang diterima petani tinggal Rp 9.240 per kilogram. Harga ini pun dinilai jauh dibawah biaya pokok produksi sebesar Rp 11.500 per kilogram.

Baca juga: Ketika Sri Mulyani Heran Draf PPN Sembako Bisa Bocor ke Publik

Dia juga menilai, apabila pengenaan PPN diberlakukan karna pemerintah menilai saat ini harga pangan naik 50 persen sehingga ada kenaikan nilai tukar petani (NTP), adalah hal yang salah dan tidak benar. 

"Ini jelas pernyataan yang ngawur, justru sekarang ini harga pangan turun contohnya harga gula konsumsi turun dibanding tahun lalu karna impor kebanyakan dan daya beli menurun. Kalau terpaksa narik PPN yah gula milik perusahaan-perusahaan atau pabrik gula karna mereka sebagai pengusaha kena pajak (PKP), jangan gula milik petani," tambah Khabsyin.

Belum lagi para petani tebu sudah dihadapkan pada beragam kebijakan yang memberatkan seperti pengurangan subsidi pupuk, rendahnya HPP gula hingga maraknya gula impor yang beredar di pasaran.

"Lha kok mau dikenakan PPN. Ibaratnya petani sudah jatuh tertimpa tangga, kalau PPN dipaksakan petani siap demo ke Jakarta," ucap dia.

Baca juga: [POPULER MONEY] Penjelasan Kemenkeu Soal PPN Sembako | Serba-serbi BTS Meals McD

Di sisi lain, pemerintah juga mengeluarkan kebijakan membebaskan PPN barang mewah nol persen terhadap mobil untuk menggairahkan perekonomian agar dapat bangkit kembali sehingga daya beli masyarakat meningkat.

"Seharusnya para petani diberi stimulus karna sudah bersusah payah menyediakan pangan nasional bukan malah dibebani PPN," imbuh Khabsyin.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com