Kasus ini adalah bentuk positif dari apa yang namanya nilai solidaritas. Implementasinya seperti analogi kapan saya menjeda untuk tidak makan roti terlebih dahulu dan memberikan potongan lebih besar ke orang yang lebih membutuhkan.
Nilai solidaritas yang dibudayakan melalui pendidikan kepada anggota adalah sarana efektif membangun suatu perusahaan yang sarat gotong-royong dan tolong-menolong. Ketika mengalami krisis tertentu, solidaritas akan menjadi social bumper, yang sampai pada derajat tertentu dapat meredam hentakkannya.
Itulah sebab pendidikan koperasi kepada anggota dianjurkan secara internasional. Keberadaannya diatur dalam Prinsip Koperasi nomor lima dan diintrodusir UU Perkoperasian No. 25 Tahun 1992 pasal 5. Prinsip ini menunjukkan koperasi sebagai entitas sosial yang perlu dirawat dan dipupuk dengan cara-cara human-centered, dengan jalan mengedukasikan nilai-nilai menjadi sebuah kesadaran kolektif.
Baca juga: Mengenal Bapak Koperasi Indonesia dan Sejarah Lengkapnya
Entitas Bisnis dan Legal
Namun koperasi bukan sekadar entitas sosial. Pada saat bersamaan adalah entitas bisnis dan entitas legal. Sebagai entitas bisnis, koperasi melakukan kontrak/ perikatan layanan kepada anggota. Ada hak, ada kewajiban. Ada ketentuan dan syarat, ada juga reward termasuk juga punishment (penalti) bila tidak sesuai dengan ketentuan.
Meski anggota adalah pemilik, namun ketika anggota “memaksa” menarik simpanannya, koperasi harus menyetujui. Sayangnya, bila yang menarik simpanan banyak dan bersama-sama, terjadi apa yang namanya rush.
Pengurus atau Pengelola tentu akan menegosiasi terkait jumlah dan waktunya. Bagaimanapun bila modal memang tak cukup, sedangkan uang masih beredar di anggota lain dalam bentuk pinjaman, koperasi pasti mengalami kontraksi dan deadlock.
Solusinya bisa menggali sumber dana lain, dari anggota sendiri atau pihak eksternal: ke koperasi lain, bank, perorangan atau lembaga keuangan lainnya. Apesnya, pandemi membuat semuanya kedodoran. Sehingga masing-masing melakukan refocusing sumberdaya yang dimilikinya. Jadilah alternatif solusi menjadi sedikit.
Sebagai entitas legal, koperasi dijamin undang-undang sehingga dapat memobilisasi dana dari anggota. Berbeda dengan bank, jaminan itu sayangnya belum lengkap. Yakni minusnya keberadaan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Keberadaan dana anggota koperasi dalam posisi rentan. Jaminan yang tersedia hanya berupa rasa percaya (trustee), aset koperasi atau uang yang sedang beredar. Itulah yang membuat kasus seperti KSP SB banyak terjadi.
Baca juga: Koperasi Simpan Pinjam: Pengertian, Contoh, dan Fungsinya
Penjaminan Simpanan
Memang betul bahwa masyarakat kurang memilih koperasi salah satunya karena tiadanya lembaga penjamin simpanan itu. Berbeda dengan bank di mana uang tabungan nasabah dijamin LPS.
Bila terjadi krisis tertentu, seperti tahun 1998, 2008 atau 2020 kemarin, dipastikan nasabah bisa tetap tenang. Mereka tak perlu khawatir, jadilah tak perlu ramai-ramai menarik uang. Rush tak terjadi.
Kadang persepsi soal rasa aman ini sangat berpengaruh terjadinya rush atau tidak. Polanya mirip dengan yang terjadi di pasar uang.
Dalam buku “Paradigma Baru Pasar Finansial”, George Soros menyebutnya sebagai “efek refleksif”, bila pelaku mempersepsi buruk, meski kondisi masih terkendali, orang cenderung mengambil keputusan jual. Bila banyak orang mempersepsi sama, terjadilah chaos. Itulah yang membuat suatu krisis tertentu, misalnya krisis keamanan, akan berdampak langsung pada kondisi ekonomi suatu negara.
Pada lapis pertama, paling tidak keberadaan LPS bisa memberikan dan menjaga persepsi tetap positif bagi nasabah. “Tak perlu menarik uang, toh uang saya dijamin LPS”.